Pemerintah dan Aparat Harus Perbanyak Kajian Teroris
Masyarakat diharapkan tetap waspada terhadap serangan teroris. Pasalnya, aksi terorisme lone wolf di Kartasura, Sukoharjo, Jateng pada 3 Juni 2019 lalu membuktikan eksistensi teroris tanpa kelompok di Tanah Air masih ada ada.
Melansir dari JPNN, pakar terorisme Al Chaidar menyarankan agar penelitian mengenai teroris lone wolf harus dilakukan. Tujuannya untuk menemukan solusi dalam mencegah seseorang terpapar terorisme, dan terus menebar teror.
Menurut dia, belum ada yang tahu pasti jumlah teroris lone wolf di tanah air. Yang pasti, dia berani menyampaikan angkanya tidak sedikit. Menyebar di seluruh wilayah di Tanah Air.
”Ada di 34 provinsi dan jumlahnya sangat besar,” ungkap dia. Buruknya, meski sendirian mereka sudah bisa digerakkan untuk menebar teror. Walau belum tentu berhasil seperti RA, mereka sudah terpapar paham teroris,” ujarnya. RA adalah pelaku bom bunuh diri di depan pos polisi Kartasura, Sukoharjo.
Al Chaidar menyebut, teroris lone wolf tidak bisa dikendalikan pemerintah maupun aparat. RA bisa menjadi contoh lantaran tidak masuk kelompok maupun jaringan teroris tertentu. Sehingga tidak ada pengawasan terhadap RA.
”Kalau lone wolf itu kan prinsipnya adalah rakyat Indonesia. Tapi, dikuasai bukan orang Indonesia,” beber dia. Karena itu, dia menilai potensi serangan oleh teroris lone wolf masih ada.
Maka itu pula, dia menyampaikan, harus ada kajian mengenai teroris jenis itu. ”Penelitian tentang lone wolf ini masih sangat sedikit,” ungkapnya.
Dia menyampaikan, komunikasi yang dilakukan oleh lone wolf dengan pihak-pihak yang membuat mereka terpapar juga sulit dibendung. Seperti yang disampaikan oleh aparat kepolisian, RA terpapar paham terorisme dari internet.
Ada banyak media yang bisa dipakai oleh RA atau teroris lone wolf lainnya untuk berkomunikasi dengan penyebar paham teroris. Contohnya media sosial dan aplikasi pesan instan.
Dari sana, mereka sangat mungkin kena pengaruh berbahaya. Bahkan, mereka bisa dibaiat walau tidak secara langsung bertatap muka. ”Ini sangat susah dikontrol oleh pemerintah,” bebernya.
Membatasi akses terhadap internet, lanjut Al Chaidar bisa diakali. Bahkan berpotensi kena kritik lantaran dianggap tidak demokratis.
Senada dengan Al Chaidar, Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyampaikan bahwa tidak mudah mengatasi persoalan tersebut. ”Ini menjadi salah satu tantangan pencegahan paham kekerasan esktrem di negara demokrasi,” imbuh Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia ini.
Pria yang biasa dipanggil Fahmi itu pun sepakat, perlu ada kajian serius dari pemerintah dan aparat keamanan. Namun, bukan melulu soal lone wolf. Dia menyebut, kajian soal latar belakang dan motif yang membuat masyarakat terpapar kemudian masuk dalam kelompok atau jaringan teroris.
”Kalau ingin serius menghentikan ini semua, harus begitu. Dan mau mendengarkan banyak masukan,” imbuhnya.
Selain itu, khusus anak-anak muda yang belakangan terpapar paham teroris, lingkungan terdekat harus menjadi benteng. Artinya, orangtua dan keluarga wajib ikut serta.
”Ada medsos atau situs yang mempromosikan kekerasan ekstrem sekali pun, kalau daya tahan si anak muda ini kuat dan dia tidak sedang dalam masalah ketika mengaksesnya, nggak akan terpengaruh,” terangnya.
Advertisement