Pemerhati: Maraknya Kekerasan Anak Petanda Matinya Hati Nurani
Awal tahun 2023 tercatat ada 6 kasus kekerasan berupa perundungan atau kekerasan fisik dan bully yang terjadi di satuan pendidikan.
Ada santri yang dibakar santri senior di Kabupaten Pasuruan, Kepala Madrasah di Gresik menampar 15 anak karena jajan di luar kantin sekolah, siswa membawa parang ke sekolah di Samarinda karena marah kepada guru olahraganya.
Kemudian, guru di Garut menampar siswa yang kedapatan merokok dan menyuruh anak lain di kelas tersebut menghukum siswa perokok tersebut, dan terakhir di Banyuwangi ada siswa SD (11 tahun) bunuh diri diduga karena dibully tidak memiliki ayah.
Fenomena berbagai kekerasan verbal dan fisik yang melibatkan pelaku usia anak menunjukkan bahwa kekerasan adalah keseharian yang dilihat dan bahkan dialami anak-anak, baik dari pengasuhan di lingkungan keluarga maupun di lingkungan tempat anak bermain dan bersekolah, serta dari media sosial.
"Saking seringnya melihat dan mengalami, lama-lama anak-anak kita menganggap bahwa kekerasan adalah hal yang wajar," kata pemerhati anak Indonesia, Retno Listryarti dalam siaran pers, Minggu, 5 Maret 2023.
Kasus penganiayaan Ananda David, 17 tahun, yang dilakukan oleh 3 orang pelaku yang salah satunya juga masih usia anak, menunjukkan bahwa menyelesaikan masalah dengan kekerasan adalah pilihan yang dianggap biasa dan tidak khawatir ada risiko hukum jika melakukan.
“Anak adalah peniru ulung, apa yang dia lihat, rasakan dan alami dari lingkungan dia tumbuh dan dibesarkan, dapat dipastikan akan ditiru dalam perilaku dan bagaimana anak menyelesaikan masalah dengan sesama anak, pendekatan kekerasan menjadi pilihan anak," ujar Retno Listyarti, yang baru mengakhiri tugasnya sebagai anggota Komisi Perindungan Anak Indonesia (KPAI).
Anak bukan manusia dewasa yang bentuknya mini, tapi anak adalah manusia yang belum dewasa. Sehingga anak tidak mengerti resiko dan kurang berpikir panjang. Oleh karena itu, anak bisa melakukan kesalahan dalam tumbuh kembangnya menjadi dewasa.
"Oleh karena itu, kesalahan anak tidak berdiri sendiri, karena ada faktor pengasuhan keluarga dan lingkungan dia dibesarkan. Pengasuhan keluarga dan di sekolah yang seharusnya mengajarkan anak-anak mengetahui hal baik dan buruk. Role model dari orang dewasa sekitar anak akan menentukan anak menjadi baik atau tidak," ungkap Retno.
Sebagai pemerhati anak, Retno menyampaikan, duka mendalam pada keluarga korban MR, 11 tahun, yang diduga mengalami perundungan dari teman-teman di sekolah dan di tempat mengaji.
Korban dirudung karena tidak punya ayah (yatim), sang ayah meninggal setahun yang lalu. Kehilangan ayah tentu merupakan tekanan psikologi berat bagi anak, ketika masalah psikologi kehilangan ini belum sembuh, anak korban justru di bully lantaran kehilangan ayahnya.
Penyebab seseorang bunuh diri memang tidak tunggal, namun kondisi kehilangan ayah dan dibully karena tidak punya ayah lagi tentu bisa menjadi faktor utama si anak memutuskan mengakhiri hidupnya.
“Yang seharusnya dilakukan oleh pendidik adalah membangun empati dan simpati pada sesama anak atas musibah atau ketidakadilan yang dialami orang lain, bukan malah membully," urai Retno.
Retno menambahkan, kalau menyimak penjelasan pihak sekolah yang membantah ada pembullyan, padahal pihak keluarga menyatakan kalau anak korban kerap curhat pada ibunya karena dibully, bahkan sering kali enggan berangkat ke sekolah.
"Maka, hal itu menunjukkan bahwa guru kelas dan lingkungan sekolah anak korban tidak memiliki kepekaan terhadap anak didiknya," katanya.
Pihak sekolah seharusnya belajar dari kasus ini, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi dilingkungan sekolah, apalagi dugaan pembullyan sudah berlangsung lama, hampir satu tahun.
"Apalagi ananda baru kehilangan ayahnya karena meninggal. Harusnya ada perhatian khusus ketika terjadi perubahan sikap, karena pihak keluarga menyatakan kalau anaknya berubah murung sejak mendapatkan pembullyan karena tidak punya ayah. Menepis tidak ada pembullyan adalah bentuk melepas tanggung jawab dan upaya menjaga citra sekolah," katanya.
Kata Retno, semestinya ini jadi pembelajaran mahal bagi sekolah dan sekolah harus mulai membangun sistem sekolah yang aman dari kekerasan sebagaimana amanat pasal 54 UU Perlindungan anak dan Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan.
Kasus anak bunuh diri karena di bully dikatakan bukan kasus pertama, sudah berulang. Seharusnya kasus ananda MR jadi pembelajaran mahal buat kita semua. Ketika orang dewasa di sekitar anak tidak peka, baik di lingkungan sekolah maupun keluarga, maka anak akan merasa tidak ada jalan keluar karena dia merasa tak ada yang menolongnya.
Anak merasa sendiri menghadapi masalahnya. Masalah anak dan orang dewasa tentu berbeda, anak bisa saja sangat terpukul ketika menghadapi suatu masalah yang mungkin bagi orang dewasa dianggap sepele.
“Ketika anak mengadukan kekerasan atau pembullyan yang diterimanya, maka keluarga harus meresponsnya," katanya.