Pemelihara Makam Keputih, Pendapatannya Bisa Jutaan Rupiah, hanya Bermodal Gunting Rumput dan Sapu
Menekuni pekerjaan yang satu ini tidak memerlukan pendidikan formal sampai sarjana. Cukup dengan kerja keras dan jujur. Karena dua syarat itu yang akan menentukan besarnya uang yang akan diterimanya setiap bulannya.
Penasaran pengen tahu pekerjaan apa? Pekerjaan itu adalah perawat makam di TPU Keputih Surabaya. Bahkan ada perawat makam yang pendapatannya bisa mencapai Rp20 juta per bulan. Lebih besar lagi pendapatannya, bahkan ada. Tergantung jumlah makam yang dirawat. Makan banyak makin besar uang yang akan diterima.
"Saya baru enam tahun bekerja di sini total pendapatan yang saya peroleh tiap bulan sekitar Rp7,5 juta," kata seorang pemelihara di TPU Keputih Surabaya Timur bernama Maklik.
Perempuan asal Nganjuk berusia 62 tahun ini merupakan salah seorang dari sekitar 250an orang yang bekerja sebagai pemelihara makam di TPU Keputih.
Total upah yang dia terima itu masih tergolong kecil. Ada yang lebih besar karena pelanggannya ratusan. "Pelanggan tetap saya 50 orang, yang lama pelanggannya bisa sampai 200 orang. Tinggal kalikan saja, 200xRp150ribu kan sama dengan Rp30 juta," ujar Maklik menghitung pendapatan yang diterima rekannya. Jumlah Rp 150 ribu itu biaya perawatan satu makam per per bulan.
"Sampeyan pasti tidak percaya, kalau ada pemelihara makam penghasilannya segede itu," kata Maklik ketika ditemui Ngopibareng.id TPU Keputih, jelang lebaran, Sabtu 29 Maret 2025.
Ia menyebut menjelang puasa Ramadan dan Idul Fitri seperti sekarang ramai-ramainya, banyak peziarah yang sambangi makam keluarga. Untuk merawat 50 makam Maklik tidak bekerja sendiri, ia dibantu oleh cucunya.
TPU Keputih yang berdiri tahun 2003, luasnya sekitar 40 hektar. Tempat Pemakaman Umum Keputih Surabaya ini merupakan salah satu TPU terbesar di Surabaya. Untuk merawat makam seluas itu tidak bisa hanya mengandalkan petugas dinas makam yang jumlahnya terbatas. Maka timbullah pemikiran untuk membentuk paguyuban peduli lingkungan mitra kerja TPU Keputih dengan melibatkan penduduk sekitar makam yakni warga Medokan Semampir dan Keputih.
Paguyuban ini bertugas untuk memelihara makam, supaya tetap rapi dan enak dipandang tidak menjadi semak belukar karena tidak ada yang merawat, rumput tumbuh liar.
"Peralatan kerja kami hanya gunting pemotong rumput, ember, gayung dan sapu," kata Maklik.
Paguyuban ini merupakan kumpulan penyedia jasa yang membantu membersihkan makam saat ada keluarganya yang datang, dengan upah seikhlasnya.
Dari sinilah kemudian terjalin komunikasi yang baik sehingga masing-masing pekerja punya pelanggan tetap, dengan penggajian per bulan. Biaya perawatan satu makam yang berjalan saat ini sebesar Rp150 ribu per bulan. Dengan biaya sebesar itu pihak keluarga tinggal duduk manis di rumah.
Perawatan makam sepenuhnya menjadi tanggung jawab anggota paguyuban, dari pemeliharaan rumput supaya tetap hijau, Gundukan jangan sampai longsor.
"Kalau ada asesoris makam rusak atau hilang menjadi tanggung jawab kami dan harus kami ganti," ujar Maklik sambil merapikan sebuah makam di Blok-S.
Anggota paguyuban yang pelanggannya ratusan, biasanya dibagi orang lain atau di-subkan. Makam sebanyak itu tak mungkin dirawat sendiri,
maka harus mempekerjakan orang lain, tapi tetap dalam pengawasannya.
Sistem pembayarannya melalui transfer tergantung tanggal akadnya, tidak harus tanggal satu. Bahkan ada yang bayar dua atau tiga bulan sekali. Ngiras-ngiras nabung.
Keluarga yang menyerahkan perawatan makam pada paguyuban pertama kali harus membayar Rp500 ribu untuk membeli tanah uruk, rumput khusus, obat perawatan dan aksesoris.
Setiap bulan ia harus mengirim foto terakhir keadaan makam sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Rata-rata pemelihara makam di TPU yang tergabung dalam paguyuban punya nomor rekening di bank untuk memudahkan pembayaran. "Biasanya saya menerima transferan mulai tanggal satu," cerita Maklik
Maklik mengibaratkan dirinya seperti pekerja kantoran. Datang pagi pulang sore. Karena dia harus mengontrol setiap hari makam yang menjadi tanggung jawabnya dengan mengendarai sepeda ontel.
"Saya tidak bisa naik motor," ujarnya lugu.
Berbeda dengan anggota yang lain mengontrol "garapannya" dengan naik motor, ia ke makam hanya dengan menggunakan sepeda angin.
Advertisement