Pembudidaya Lobster Kesulitan Benih, Imbas ekspor Benur Ilegal
Penjualan benur lobster secara illegal terus terjadi. Bisnis illegal benur lobster ini terjadi karena harga benur lobster di pasar gelap sangat menggiurkan. Kondisi ini berimbas pada para pembudidaya lobster lokal. Pelaku budidaya lobster kesulitan benur lobster karena tingginya pengiriman ke luar negeri.
Salah satu pengurus usaha budidaya lobster di Banyuwangi, Hadiyanto mengatakan harga bibit lobster saat ini sangat mahal. Ini terjadi karena banyaknya pengiriman illegal benur lobster.
“Sebenarnya bibit lobster itu cukup, ada, tapi pencari lebih memilih mengirim secara illegal, karena harganya lebih mahal,” jelasnya, Selasa, 24 Januari 2023.
Di pasar gelap, benur lobster ini dihargai Rp20 ribu per ekor. Baik itu yang jenis benur bening lobster (BBL), maupun benih muda. Padahal dari sisi pembesaran BBL dengan benih muda membutuhkan waktu yang berbeda. Mestinya, harga untuk pasar lokal antara Rp 2.000 sampai Rp 5.000.
Hadiyanto menjelaskan, budidaya lobster dari BBL membutuhkan waktu antara 9 sampai 12 bulan sampai memasuki masa panen. Sedangkan dari benih muda tiga sampai empat bulan untuk yang benih muda ukuran 100 gram dan 7 sampai 8 bulan untuk benih muda dengan berat 50 gram. Hanya saja, benih muda yang 50-100 gram ini jumlahnya terbatas.
“Harga sama Rp20 ribu untuk dijual ke kami, jadi bagaimana kita bisa budidaya dari benur dengan 9-12 bulan, belum termasuk risiko kematiannya, bagaimana kita bersaing dengan Vietnam,” ujar pria 42 tahun ini.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur PT. Teras Samudera Sejahtera yang menaungi Kampung Lobster, Chandra Astan, menyatakan, pemerintah melarang pengiriman benur karena dianggap benur bisa punah. Padahal, kata dia, lobster dalam sekali bertelur jumlahnya jutaan.
Seharusnya, menurut Chandra, pemerintah mengizinkan ekspor BBL dengan syarat tertentu yang sangat ketat. Misalnya yang boleh melakukan ekspor BBL hanya yang sudah melakukan budidaya saja. Yang tidak melakukan budidaya tidak boleh ekspor.
“Kalau mau ekspor budidaya dulu. Kalau tidak begitu, masyarakat kita ekspor benur terus, tidak akan mengembangkan budidaya. Makanya boleh ekspor tapi budidaya dulu,” tegasnya.
Karena dari budidaya juga bisa menghasilkan benih. Menurutnya, ini sudah ada buktinya. Pada keramba miliknya, sudah ditemukan lobster yang kawin sudah bertelur. Sekali bertelur jumlahnya jutaan. Namun bentuknya masih filosoma. Karena bentuknya yang kecil semua lolos dari keramba.
“Dalam bentuk filosoma, belum benur. Dia terbawa arus, karena kecil sekali. Artinya begitu dia menetas dia kembali ke alam. Jadi restocking-nya jalan, tapi untuk alam,” tegasnya.
Chandra menjelaskan, saat ini di Australia sudah melakukan pembenihan (hatchery) lobster. Jika ini berhasil maka akan mempengaruhi pasar lobster dunia termasuk Indonesia. Benih dari hatchery, menurutnya, bisa dijamin kualitasnya. Karena sudah dipilih induk terbaik yang dikawinkan.
“Australia sudah selesai risetnya. Harganya saat ini Rp10 dolar atau Rp140 ribu per ekor, tinggi sekali. Tapi kalau sudah mencapai angka satu dolar per ekor dia bisa dibeli siapa saja dan legal,” ujarnya.
Sekarang ini, lanjutnya, ekspor BBL tetap terjadi secara illegal. Chandra menyebut dirinya dan para pelaku budidaya lobster akan senang jika pemerintah bisa benar-benar 100 persen melarang ekspor tapi harus 100 persen juga tidak ada ekspor di jalan belakang.
Chandra menyebut, harga benur dahulu cuma Rp30 - Rp100 rupiah per ekor. Namun sejak ekspor benur ditutup harganya melonjak. Menurutnya, sejak ada larangan ekspor illegal semakin menjadi-jadi. Tapi yang menikmati hasilnya bukan Negara karena dilakukan secara illegal.
“Kalau misalkan mau jalur belakang tutup total, depan tutup total juga gak apa-apa. Tutup semuanya. Jangan dikasih jalan oknum aparat untuk main-main dengan hal ini,” tegasnya.
Sementara itu, pemerhati industri perikanan, Erzaldi Rosman, mengatakan, di Indonesia sudah banyak budidaya lobster yang berhasil. Menurutnya, banyak tantangan ketika budidaya ini tidak didukung oleh pemerintah. Pertama ketersediaan bibit, kedua regulasi dan yang ketiga persaingan pasar.
“Kalau pemerintah tidak membantu budidaya kita, kita sudah kalah 5-0 dengan Vietnam,” jelasnya.
Faktor utamanya, Vietnam tidak perlu menggunakan pesawat untuk mengirim lobster ke China. Cukup masuk ke truk dalam kondisi hidup bawa ke China. Sementara pelaku budidaya di Indonesia harus menggunakan pesawat dengan konsekuensi harus ada air karena benur harus tetap dalam kondisi hidup.
“Tetapi Tuhan kasih kita benur, kenapa kita mesti kirim ke sana, bahkan kita dilarang untuk membudidaya,” tegasnya.
Dia menyebut 95 persen benur lobster di Vietnam berasal dari Indonesia. Jangan sampai benur lobster diekspor tapi pemerintah tidak dapat apa-apa dan pembudidaya juga mati karena tidak dapat benih. Seharusnya pemerintah memberikan kesempatan ekspor sekaligus memberikan kesempatan budidaya. Dalam waktu yang sama juga harus dilakukan riset.
“Nantinya secara bertahap karena kuotanya dikasih ke budidaya, untuk mengekspor juga, nanti ekspor akan berkurang, saat budidaya sudah kuat tidak lagi kirim ke Vietnam benurnya,” tegasnya.
Gubernur Bangka Belitung periode 2017-2022 ini menambahkan, ada lagi keuntungan ketika melakukan ekspor benur. Keuntungan itu bisa diatur dalam regulasi bahwa sekian persen untuk riset, sekian persen harus menjadi kewajiban perusahaan untuk membangun budidayanya. Daripada dikirim ke Vietnam, kata Erzaldi, lebih baik benur itu digunakan untuk budidaya masyarakat Indonesia sendiri.
“Kuncinya ketika budidaya di-support, ekspor benur di-support oleh satu atau beberapa perusahaan dengan kewajiban harus berganti posisi budidayanya jadi tinggi, ekspornya nol, hilang,” katanya.
Advertisement