Kisah Pembuat Kopi dan Para Pemberontak
Hits dunia kopi benar-benar meng-influens siapa saja. Kali ini, orang-orang jurnalis yang terjangkiti virusnya. Padahal, biasanya, karena profesi dan idealisme, jurnalis tak mempan "virus influenza".
Dari influens itu, maka lahirlah Tembilahan Coffee. Dia membawa konsep kedai yang mengusung hits seduh kopi manual brewing. Dimana itu? Di tempat paling legenda sak pulau Jawa; Daerah Ismewa Jogjakarta.
Digawangi Nurhadi Sucahyo, namanya. Jurnalis cukup senior di Jogjakarta. Tercatat pernah menggawangi koran-koran papan atas di DIJ.
"Ini sebuah influens yang layak dijalani. Juga sebuah tantangan yang layak dicoba adrenalinnya," kata Nur pendek.
Saat pembukaannya, Tembilahan Coffee yang TKP-nya berada di Jalan Kranji, Sleman, Jogjakarta, membuat sambutan yang unik. Sepertinya keunikan ini yang menjadi patokan segmen apa dan segmen mana yang bakal jadi bidikannya.
Mungkin karena jurnalis, lalu mengetahui banyak informasi, maka sambutan pembukaan seperti sebuah cerita features yang sangat nyaman untuk dibaca, sembari nyeruput kopi sekalipun.
Coba simak: Perbincangan kecil selalu menjadi lebih menarik di warung kopi. Karenanya orang-orang datang, bukan untuk segelas minuman pahit, tetapi demi perbincangan di atas uapnya.
Presiden, para menteri, koruptor, politisi, copet, tukang pijat, sampai penjahat kelas teri datang ke warung kopi. Juga untuk berbicara dan mengeluarkan isi kepala mereka.
Tetapi, bagi tukang kopi, jabatan semua orang gugur di pintu masuk. Engkau mungkin raja, presiden, sipir penjara, tukang servis radio, petani jagung atau pengangguran. Tetapi begitu duduk di meja, semua luruh bersama aroma.
Bagi pembuat kopi, kalian adalah pemberontak. Dan pemberontak selalu berhak atas minuman terbaik.
Nah, keren bukan? Sebuah sambutan pembukaan yang menggoda untuk bertandang langsung ke kedainya. Lalu, sudah barang tentu, mencobai kopi manual brewingnya. Apa Anda ikut tergoda? Cap cus kesana yuk.. (*)