Pembela Demokrasi dan HAM Menjadi Sosok Ekstremis, Kritik Haedar
Konsep negara sejahtera lebih berpeluang terwujud jika unsur penting sdeperti Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) terjamin dan terkelola dengan baik. Bagi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia seperti Indonesia, nampaknya konsep ideal pengelolaan demokrasi belum menemukan rumus yang tepat.
Hal ini nampak pada sering terjadinya perdebatan mengenai kebijakan publik yang dianggap bernafas sekular-liberal dan berbenturan dengan dasar negara yakni Pancasila.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir memandang jika Indonesia tidak segera menemukan rumus yang tepat, demokrasi bisa beralih menjadi kontraproduktif bagi bangsa Indonesia ke depan.
“Dan (demokrasi) ini jadi pesta pora bagi bangsa kita yang sering tidak punya kemampuan mengkonsolidasi pada titik yang moderat dan kita tidak tahu nanti ujung kita mengelola demokrasi ini,” keluhnya, dalam keterangan Selasa, 16 November 2021.
Demokrasi yang Tidak Sehat
Proses perdebatan keras Permendikbud 30 adalah contoh terbaru dari kebuntuan demokrasi dan Pancasila. Mengutip pendapat Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018), Haedar Nashir yang juga Guru Besar ilmu Sosiologi UMY itu menyebut bahwa demokrasi sering dibunuh bukan oleh rezim otoriter semata, tetapi oleh masyarakat sipil sendiri.
“Ada hal yang menarik ketika perkembangan demokrasi di dunia itu begitu masif dan luas tapi asumsi kematian demokrasi itu muncul, bahwa kematian demokrasi tidak berada di tangan rezim militer seperti pada era beberapa dekade sebelum ini. Justru kematian demokrasi akan berada di tangan para pemimpin negara yang non-militer tetapi membajak demokrasi,” kata Haedar, saat menyampaikan pandangannya dalamwebinar UMY bertajuk Moderasi Indonesia untuk Dunia, Senin dilansir situs resmi Muhammadiyah-Online.
“Dan kemudian era ini akan ditandai dengan era demokrasi semu yang kemudian juga membawa demokrasi pada proses ekstrimitas. Saya pikir isu yang terakhir di Indonesia soal Permendikbud itu juga bagian dari ekstrimitas demokrasi dan hak asasi manusia,” kritiknya.
Kritikan Haedar jelas beralasan, pasalnya perdebatan yang terjadi nampak timpang dengan semangat demokrasi itu sendiri. Masyarakat sipil pendukung Permendikbud bukan hanya tidak memberi ruang argumentasi bagi pihak yang berlawanan pendapat.
Bahkan sebagian influencer melakukan penyematan dengan menyebut pihak kontra sebagai ‘mati otak’ hingga membingkainya dalam posisi ‘pembela penjahat kelamin’ tanpa memperhatikan alasan-alasan dari pihak yang kontra secara jernih.
Pancasila Relevan dengan Demokrasi?
Haedar Nashir lebih lanjut menuturkan, pengerasan masyarakat sipil bukanlah satu-satunya hambatan bagi terbentuknya demokrasi yang ideal bagi negara Pancasila seperti Indonesia.
“Saya pikir jika tidak kita kelola dengan baik, itu akan menjadi problem baru di mana ternyata kekuatan-kekuatan sipil itu tidak kalah otoriternya dengan kekuatan militer ketika dia dibangun di atas oligarki. Oligarki ekonomi, oligarki politik, bahkan saya menambahkan satu istilah oligarki keagamaan di mana ada kelompok-kelompok agama yang merasa paling berkuasa di negara-negara, di tengah agama-agama itu hidup. Ini bisa menjadi proses kematian demokrasi,” ungkapnya.
Bagi Haedar, perdebatan Permendikbud 30 juga menyisakan pertanyaan apakah Indonesia masih berkomitmen untuk mengejawantahkan nilai-nilai batin bangsa Indonesia seperti Pancasila, Agama, dan kebudayaan luhur bangsa dalam perjalanan negara ini ke depan.
Haedar lalu mengutip penjelasan Roy Scranton dalam Learning to Die in Anthropocene bahwa tantangan terbesar zaman ini adalah tantangan filosofis di mana peradaban manusia yang terlalu pragmatis dan instrumental.
“Dan di sinilah sebenarnya orang harus kembali pada ide-ide metafisik yang mungkin sekarang dianggap sebagai hal yang tidak berguna sehingga karena demokrasi, paham hak asasi manusia, dan mungkin juga pemikiran yang sekular dan liberal di atas humanisme sekular yang dibangun sejak abad ke-18 di Eropa, menganggap hal-hal yang metafisik, agama, Pancasila, kebudayaan luhur bangsa itu menjadi sesuatu yang sub-ordinate dari pikiran-pikiran yang ekstrim tentang demokrasi, tentang HAM, dan pemikiran-pemikiran yang orang sebut sebagai post-modernisme yang sebenarnya liberal sekular,” terang Haedar.
“Nah dalam konteks ini maka hati-hati bahwa Indonesia sebenarnya punya problem yang oleh Scranton disebut sebagai persoalan filosofis dan metasifik. Maka dalam rangka proses ini pertama kita perlu sebuah ikthiar,” tutur Haedar Nashir mengakiri.