Pembebasan Ba'asyir Dinilai Tak Miliki Dasar Hukum yang Kuat
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Abdul Wachid Habibullah menilai pembebasan Ba'asyir tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
"Tidak ada dasar hukum yang bisa dipakai apakah Ba'asyir itu mendapat amnesty, grasi ataupun pembebasan, walaupun ada dalam peraturan undang-undang di Indonesia," katanya, Rabu 23 Januari 2019.
Kata kata Wachid, menjadi pertanyaan besar lantaran pemerintah belum mampu menjelaskan apa dasar hukum dalam pembebasan Abu Bakar Ba'asyir.
Ia menyebut konstruksi hukum pembebasan Abu Bakar Ba'asyir itu juga tak jelas. Hal itu terlihat dari penolakan Ba'asyir untuk mengakui kesalahan.
Apalagi ada pula salah satu syarat pembebasannya harus menulis surat pernyataan setia kepada UUD 45 dan NKRI.
Namun, katanya, Ba'asyir enggan untuk menandatangani surat pernyataan tersebut. Ba'asyir, juga tidak mengakui kesalahannya.
"Jadi, patut dipertanyakan pembebasan Ba'asyir ini. Apablia presiden memberi grasi, maka seorang mantan narapidana harus mengakui kesalahannya dan meminta ampun kepada negara," kata Wachid.
Wachid menambahkan, jika pembebasan benar terjadi, nantinya malah akan menimbulkan konsekuensi hukum. Sebab pemerintah bakal dianggap tidak memiliki dasar yang cukup kuat untuk membebaskan napiter, bila ditemui kasus serupa ke depannya.
"Ini yang kirannya harus dilihat kontruksi hukum bagaimana dasar pengenaan atau kebebasan bersyarat yang dilakukan oleh presiden," katanya.
Wachid menganalisa, pembebasan ini akan menjadi implikasi hukum dan bakal menimbulkan pertanyaan bagi publik, yang menyoroti kebijakan Presiden Joko Widodo.
Karena secara prosedur jika narapidana tersebut tidak memenuhi persyaratan, kenapa dia tetap dibebaskan. Wachid pun menilai, bisa jadi publik justru melihatnya secara politis dan menjadi catatan buruk bagi pemerintah.
"Apabila pemerintah ngotot melakukan dan tetap untuk dibebaskan. Saya rasa ini yang menjadi perhatian kita semua," Wachid, memungkasi. (frd)
Advertisement