Pembebasan Abu Bakar Ba'asyir, Bermula dari Anjuran Ma'ruf Amin
Abu Bakar Ba'asyir, terpidana kasus terorisme, dinyatakan bebas tanpa syarat. Itu setelah Presiden Joko Widodo mengutus Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum Partai Bulan Bintang sekaligus penasihat hukum Jokowi-Ma'ruf Amin, untuk mengurus proses pembebasan tersebut. Di balik keputusan itu, Ketua Umum (non-aktif) MUI Pusat KH Ma'ruf Amin telah memberi anjuran kepada Presiden Jokowi pada awal Maret 2018 lalu.
Dalam keputusan itu, Abu Bakar Ba'asyir akan meninggalkan Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, awal pekan depan setelah syarat-syarat administrasi pembebasan diselesaikan.
"Pembebasan Ustad Ba'asyir berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dan juga kondisi kesehatannya. Jadi pertimbangan Pak Jokowi memberikan pembebasan ini adalah semata-mata pertimbangan kemanusiaan. Dan, usia beliau yang sudah lanjut serta pertimbangan beliau juga seorang ulama yang dihormati," kata Yusril, seusai bertemu Ba'asyir di Lapas Gunung Sindur, Jumat 18 Januari 2019.
Dalam catatan ngopibareng.id, desakan terhadap Presiden Joko Widodo untuk memberikan pengampunan kepada Abu Bakar Ba'asyir sebelumnya memang cukup kuat. Pemberian grasi terhadap terpidana teror itu dinilai layak atas dasar kemanusiaan.
Desakan tersebut awalnya dilayangkan Ketua MUI Ma'ruf Amin. "Beliau sakit diperlukan supaya diobati, kemudian juga diberikan semacam kalau bisa dikasih grasi. Ya itu terserah Presiden," katanya usai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Negara, 1 Maret 2018.
"Usul Kiai Ma'ruf ini sangat simpatik utamanya menimbang rasa kemanusiaan atas kondisi kesehatan Abu Bakar Ba'asyir yang secara usia sudah sangat sepuh, berada dalam penjara dengan ruang gerak sangat terbatas sehingga menyebabkan sakit akut dan perlu perawatan khusus," kata Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini.
Ketika itu, kondisi kesehatan Abu Bakar Ba'asyir dilaporkan kian memburuk. Atas anjuran Kiai Ma'ruf Amin, Presiden Joko Widodo mengizinkan pengasuh pondok pesantren Al-Mukim Ngruki itu meninggalkan penjara Gunung Sindur di Bogor untuk dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Abu Bakar Ba'asyir ketika itu mengalami pembengkakan pada kakinya.
"Ya ini kan sisi kemanusiaan juga, saya kira untuk semuanya. Kalau ada yang sakit, tentu saja kepedulian kita membawa ke rumah sakit untuk disembuhkan," kata Jokowi di Istana Negara, Kamis 1 Maret 2018.
Namun izin berobat dinilai belum cukup. Istana negara sejak itu, didesak untuk memberikan pengampunan pada sosok yang terlibat dalam pendanaan latihan teroris di Aceh dan mendukung kegiatan terorisme di Indonesia itu.
"Usul Kiai Ma'ruf ini sangat simpatik utamanya menimbang rasa kemanusiaan atas kondisi kesehatan Abu Bakar Ba'asyir yang secara usia sudah sangat sepuh, berada dalam penjara dengan ruang gerak sangat terbatas sehingga menyebabkan sakit akut dan perlu perawatan khusus," kata Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini dilansir sejumlah media.
Hal senada diungkapkan politisi Gerindra, Desmond Mahesa. "Lebih baik diberikan grasi dalam arti kan beliau sudah tua, sudah sakit-sakitan. Karena alasan kemanusiaan perlu dipertimbangkan. Jangan sampai orang yang hari ini sudah tua, tapi tidak ada pertimbangan-pertimbangan," ujarnya kepada wartawan.
Namun demikian pemberian grasi hanya bisa dipertimbangkan jika Abu Bakar Ba'asyir mengajukan permohonan kepada Istana Negara. Hal ini ditepis oleh putranya Abdul Rohim Ba'asyir. Menurut dia ayahnya tidak akan mengajukan permintaan tersebut. Pada 2011 silam Ba'asyir menolak mengakui putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan alasan putusan "berlandaskan hukum kafir dan melanggar Syariah Islam."
Sebab itu Abdul Rohim mendesak agar pengampunan diputuskan secara langsung oleh Presiden Jokowi. "Atau kalau umpamanya presiden memberikan amnesti, intinya kalau inisiatif itu datangnya dari presiden, kami akan senang sekali menerima," ujarnya.(adi)
Advertisement