Pembatalan UKT Dinilai Setengah Hati, PTN BH Harus Dihapus
Jaringan Pengamat Pendidikan Indonesia (JPPI ) menilai pembatalan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) setengah hati dan bersifat sementara. Pembatalan UKT ini hanya untuk meredam aksi mahasiswa yang menolak kenaikan UKT tersebut.
Ketua JPPI Ubaid, mengatakan, kebijakan Mendikbudristek tersebut seharusnya dibarengi dengan pencabutan Permendikbudristek No.2 tahun 2024 dan komitmen untuk mengembalikan status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) menjadi PTN.
"Selama Permendikbudristek No.2 tahun 2024 tidak dicabut dan PTN-BH tidak dikembalikan menjadi PTN, maka bisa dipastikan, tarif UKT akan kembali naik di tahun 2025,” ujar Ubaid.
Mahasiswa diingatkan jangan merasa puas dan senang dengan pernyataan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikburistek) Nadiem Anwar Makarim sehubungan dengan pembatalan kenaikan UKT. Sebab, tahun depan akan kembali naik dan mahasiswa lama juga dipastikan akan terkena imbasnya.
“Jadi, respons pemerintah soal UKT ini semakin jelas arahnya mau ke mana, yaitu mempertahankan status PTN-BH alias akan terus memuluskan agenda komersialisasi dan liberalisasi pendidikan, di mana biaya pendidikan tinggi tidak lagi menjadi tanggung jawab negara, tetapi tetap seperti saat ini, diserahkan pada mekanisme pasar,” tambah Ubaid.
Sebenarnya, anggaran pendidikan sebesar 665 triliun di APBN 2024 itu sangat mungkin dan leluasa untuk dialokasikan dalam pembiayaan pendidikan tinggi. Tetapi, perlu diketahui, bahwa hal ini tidak mungkin dilakukan jika kebijakan pemerintah pro pada komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi yang diwujudkan dalam kebijakan PTN-BH.
“Besaran anggaran APBN untuk pendidikan tidak memengaruhi mahalnya UKT. Karena pemerintah saat ini tak lagi menggunakan APBN untuk mensubsidi PTN-BH. Dulu, ketika masih berstatus PTN, maka pemerintah punya kewajiban untuk membiayai PTN supaya terjangkau dan memperluas akses. Kini, dengan status PTN-BH, pemerintah tak lagi membiayai, tapi PTN-BH harus mandiri dalam pembiayaan,” kata Ubaid.
Jadi, ketika PTN-BH tidak punya sumber pembiayaan yang mencukupi, maka biaya operasional kampus yang besar itu (yang dulunya ditanggung oleh negara) kini ditanggung oleh masyarakat melalui skema UKT. Dengan status PTN-BH, kampus harus mencari pembiayaan mandiri dengan melakukan usaha-usaha profit.
“Salah satu usaha paling menguntungkan dan tidak mungkin merugikan kampus adalah berbisnis dengan mahasiswa melalui skema UKT ini. Karena itu, selama status PTN-BH ini tidak dibubarkan, kampus tidak dikembalikan menjadi PTN, maka biaya UKT akan selalu membubung tinggi,” ujar Ubaid.
Ubaid menambahkan, bahwa bantuan untuk mahasiswa dari keluarga miskin yang katanya 20% di PTN-BH itu hanyalah kamuflase saja. Nyatanya, KIP-Kuliah banyak salah sasaran, bahkan kampus tidak memenuhi jumlah minimum 20% untuk mahasiswa dengan skema UKT kelompok 1 dan kelompok 2. Belum lagi soal mahasiswa dengan kemampuan ekonomi menengah, mereka merasa sangat terbebani dan tidak mampu bayar UKT, karena itu banyak di antara mereka yang putus kuliah di tengah jalan.
“Ketika tetap berstatus sebagai PTN-BH, dan tidak adanya revisi UU Dikti 12 tahun 2012, maka kampus-kampus itu akan merajalela dan ugal-ugalan melakukan komersialisasi dan menjadikan kampus sebagai lahan bisnis. Hal ini jelas bertentangan dengan amanah UUD 45, terutama Pasal 31 bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan," jelas Ubaid.
Menurut Ubaid, supaya berkeadilan bagi semua, maka kita harus mengembalikan pendidikan sebagai hak dasar seluruh warga negara Indonesia. Pendidikan harus diletakkan sebagai public goods (barang publik), sebab menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh masyarakat. Karena itu, JPPI menyerukan dan memberikan rekomendasi kepada Mendikbudristek sebagai berikut:
1. Kembalikan PTN-BH menjadi PTN. UU Pendidikan Tinggi No.12 tahun 2012 harus direvisi karena banyak pasal-pasal yang inkonstitusional, khususnya yang menyangkut status PTN menjadi PTN-BH. Jelas inkonstitusional karena pembiayaan pendidikan yang mestinya menjadi tanggung jawab pemerintah, malah dialihkan ke masyarakat melalui badan hukum dan skema UKT.
2. Setiap warga negara harus mendapat kesempatan sama (non-excludability) untuk bisa akses pendidikan tinggi. Kampus janganlah hanya beri karpet merah untuk golongan tertentu. Semua punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan tinggi yang berkualitas dan berkeadilan.
3. Hapus mekanisme kompetisi dan saling mengalahkan (non-rivalry) dalam mengakses pendidikan tinggi. Semua warga negara dengan skill yang berbeda-beda harus dapat ditampung di pendidikan tinggi sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing. Karena itu, hentikan sistem kompetisi dan juga jalur mandiri yang hanya mempertimbangkan tebal-tipis dompet, tanpa mempertimbangkan skill.
4. Hentikan segara bentuk komersialisasi dan bisnis di pendidikan tinggi. Karena ini akan berdampak buruk bagi jaminan hak warga negara untuk bisa mendapatkan pendidikan di pendidikan tinggi. Selain bertentangan dengan visi mencerdaskan kehidupan bangsa, juga berisiko dalam penelantaran mahasiswa. Jika lembaga pendidikan tinggi diharuskan berbisnis, lalu mengalami kerugian dan dinyatakan pailit, maka asetnya bisa disita oleh pihak terkait, sementara nasib mahasiswa akan terlunta-lunta.
Advertisement