Pembahasan RUU Omnibus Law Jangan Kucing-kucingan
Pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja harus dilakukan secara transparan. Jangan kucing-kucingan karena ada pihak tertentu yang ingin dilindungi, tetapi mengorbankan pihak lain.
Pandangan ini disampaikan pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, saat berbincang dengan Ngopibareng.id Rabu 19 Februari 2020.
"Saya paham RUU ini untuk melonggarkan jalan bagi pemilik modal untuk berinvestasi di Indonesia. Tapi buruh jangan dikorbankan dengan dalih kepentingan investasi," ujarnya.
Menurut pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini, pembahasan RUU Omnibus Law tidak bisa dilakukan dengan buru-buru atau selama 100 hari seperti yang ditargetkan pemerintah. Karena drafnya saja masih ada yang diketik.
"Mana ada undang-undang bisa dirubah dengan Perpres," sambung Margarito Kamis.
Sebagaimana lazimnya dalam pembuatan undang-undang, sebelum memasuki tahap pembahasan di DPR, Badan Legislasi DPR draf UU Omnibus Law sebaiknya disosialisasikan ke masysrakat dan akademisi. Sehingga mereka bisa memberikan masukan, sebelum RUU itu disahkan menjadi undang-undang.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agta secara terpisah
mengatakan, pembahasan RUU Omnibus Law akan dibahas pling cepat tiga bulan ke depan setelah masa reses DPR yang akan dimulai akhir Februari.
"Artinya keinginan pemerintah supaya pembahasan RUU Omnibus diselesaukan dalam satu bulan, sulit dipenuhi," kata politisi Gerindra tersebut.
Supratman mengajak masyarakat melihat semangat pemerintah dalam mengajukan Omnibus Law Cipta Kerja tersebut supaya berimbang. Yakni untuk untuk mempermudah masuknya investasi serta memperluas penyerapan tenaga kerja.
"Di Indonesia sekarang terdapat sekitar 8 juta tenaga yang belum terserap. Kalau investasi yang masuk lebih banyak, 8 juta tenaga kerja itu akan terderap. Ini yang melatar belakangi RUU Omnibus Law tersebut," kata Supratman Rabu 19 Februari.
Karena RUU Omnibus Law masih berpa draf, pasti akan dipelajari dulu. Kalau faktanya draf RUU Imnibus Law tidak mengadposi kepentingan buruh, DPR akan meminta pemerintah memperbaiknya.
"Buruh pasti kami libatkan saat pembahasan RUU Omnibus di DPR sebelum disahkan menjadi undang undang" katanya.
Sementara itu, Presiden KSPI Said Iqbal menyebut, setidaknya ada lima pasal yang cukup krusial bagi pekerja. Pertama, upah minimum akan menggunakan standar provinsi (UMP), padahal sebelumnya bisa diatur dengan standar kabupaten/kota (UMK).
Kedua, omnibus law memberikan bonus atau penghargaan lainnya bagi pekerja sesuai dengan masa kerjanya. Bonus tertinggi senilai lima kali upah bagi pekerja yang telah bekerja selama 12 tahun atau lebih.
Ketiga, pemerintah berencana memperpanjang waktu kerja lembur menjadi maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. Dalam UU Ketenagakerjaan, waktu kerja ini paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu.
Keempat, pembayaran upah bagi pekerja yang berhalangan tak lagi disebutkan dalam omnibus law. Sedangkan, aturan sebelumnya tetap membayar upah pekerja yang sakit sebesar 25-100 persen (tergantung lama sakit) dan yang tidak masuk kerja selama 1-3 hari karena menikah, melahirkan, atau ada anggota keluarga yang meninggal.
Kelima, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pekerja berhak memperoleh uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Namun, uang penggantian hak dihilangkan dalam omnibus law.
"Saya minta DPR jangan menjadi lembaga setempel yang selalu mengikuti kemauan pemerintah, tanpa memikirkan nasib buruh yang terdampat oleh UU Onibus Law kalau disahkan dengan buru buru," pesan Iqbal.
Merujuk pada draf tersebut kalangan buruh berpendapat RUU Omnibus Law hanya berpihak pada kepentingan pengusaha semata.