Pemaknaan Islam yang Keliru Timbulkan Kekisruhan, Pesan A Toha
Abdillah Toha, mantan politikus terkemuka Indonesia, menulis tentang "Islam dan Iman". Ia mengingatkan, pemaknaan terhadap Islam yang keliru akan menimbulkan kekisruhan. Untuk memahami hal itu, berikut ulasan mantan pendiri PAN ini:
Menurut keyakinan Islam kita, manusia menjadi utuh dan lengkap ketika telah berislam, beriman, dan berihsan. Atau telah menjadi muslim, mu’min, dan muhsin. Apa beda di antara ketiganya? Kita akan membahas dua hal pertama saja dahulu, apa beda Islam dan Iman, atau di mana letak perbedaan antara seorang muslim dan mu’min.
Ayat Quran yang sering dipakai untuk menunjukkan tidak samanya kedua hal tersebut adalah Surah Al Hujurat ayat 14.
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman (lam tu’minu), tapi katakanlah ‘kami telah tunduk (aslamna)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Ketika seseorang telah mengucap dua kalimat syahadat dengan mulutnya maka dia telah menjadi Muslim. Kemudian dengan sendirinya dia juga diharapkan melaksanakan 4 rukun Islam lainnya yakni shalat, puasa Ramadhan, melaksanakan zakat, dan naik haji bila mampu.
"Bagaimana hubungan Islam dan Iman bila melihat kondisi umat Islam saat ini. Pertama, pemahaman dan pemaknaan Islam yang keliru telah menimbulkan kekisruhan dalam kehidupan umat. Kualitas Muslim lebih ditentukan oleh derajat keimanannya, bukan mazhab dan alirannya serta intensitas ibadahnya. Menghayati makna shalat atau memberi sedekah kepada fakir miskin lebih utama dari berapa banyak jumlah shalat sunnah yang kita lakukan atau berapa kali umroh telah kita lakukan."
Dengan berbuat begitu maka dia secara hukum (syariah) sudah diakui sebagai Muslim dan kepadanya berlaku aturan yang mengatur soal perkawinan, waris, makanan, kematian, dan lainnya, sesuai Islam. Dalam KTP-nya akan ditulis sebagai beragama Islam, bahkan ketika dia sesungguhnya tidak atau belum melaksanakan sebagian atau seluruh rukun Islam itu.
Di luar itu, kita semua tahu ada 6 rukun iman yang harus diyakini oleh Muslim yakni percaya kepada Allah yang Esa, kepada kitab kitabNya, kepada Malaikat malaikatNya, kepada Rasul RasulNya, kepada Hari Akhir, dan kepada Qadha dan QadarNya.
Jadi apa beda antara Muslim dan Mu’min? Muslim adalah sikap zahir sedang Mu’min adalah sikap batin. Muslim adalah bagian luar dan Mu’min adalah bagian dalamnya. Muslim bagai kemasan sedang Mu’min adalah isinya. Muslim adalah ucapan dan perbuatannya sedang Mu’min adalah hati dan perilakunya. Islam adalah format sedang Iman adalah substansinya.
Seorang alim mengatakan bahwa Muslim bagai kulit buah sedang Mu’min adalah bagian dalam buah yang kita makan. Muslim dan Mu’min bagai tanah dan pohon. Muslim bagai tanah yang bisa berisi kotoran sedang Mu’min adalah pohon yang tumbuh dari tanah dan berkembang menjadi pokok, ranting, daun, bunga, dan buah.
Islam menetapkan hukum dan menilai seseorang dari zahirnya. Meski tidak perlu dan tidak bermanfaat, mengukur kadar keislaman seseorang lebih mudah karena dapat dilihat dari ucapan dan perbuatannya yang tampak kasat mata. Itupun kadang kadang kita masih bisa keliru. Mengukur iman seseorang jauh lebih sulit dan bisa jadi mustahil. Iman berada dalam hati dan tak tertangkap oleh indera biasa.
Islam lebih banyak menyangkut hubungan horizontal berupa interaksi antara manusia dengan manusia lain yang umumnya bersifat material. Iman lebih menekankan hubungan vertikal dan ruhaniyah (spiritual) antara manusia dengan Allah. Melihat perilaku seseorang sehari-hari, mungkin lebih mudah untuk mengatakan bahwa si A lebih Islam dari si B. Tidak demikian halnya dengan iman. Kita sulit membandingkan bahwa seseorang lebih beriman dari yang lain.
Karenanya, kita dilarang berprasangka buruk terhadap kadar keimanan seseorang dan tidak boleh semena-mena menjatuhkan vonis bahwa seseorang telah sesat atau kafir. Jangan kita mengambil alih peran Allah karena hanya Allah yang mengetahui hati seseorang. Hanya Allah lah Yang Maha Mengetahui apa yang tersurat dan segala yang tersirat dalam diri setiap makhluknya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa ganjaran keislaman seseorang berada di dunia, sedang pahala di akhirat nanti hanya milik orang beriman. Khalifah keempat setelah wafatnya Nabi SAW mendapat julukan Amirul Mu’minin, pemimpin kaum beriman. Bukan Amirul Muslimin. Dalam Al Quran, Allah tidak menyapa kaum Muslimin dengan ya ayyuhal ladzina aslamu (wahai kaum Muslim) tetapi dengan ya ayyuhal ladzina amanu (wahai kaum beriman), meski yang dimaksud adalah kaum Muslimin.
Makna lain dari Islam adalah ketundukan sepenuhnya pada sunnatullah atau yang sering diterjemahkan sebagai hukum alam. Dari sisi ini, seluruh isi jagad raya ini mau tidak mau adalah Muslim, baik sukarela atau terpaksa, sesuai ayat 83 surah Ali Imran berikut:
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri (aslama) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah lah mereka dikembalikan.”
Dengan demikian, seorang yang telah mengucap dua kalimat syahadat sesungguhnya dia telah menyatakan diri secara terbuka dan sukarela tunduk sepenuhnya kepada kehendak Allah. Sebaliknya seorang atheis, meski dia tidak mengakui adanya Tuhan, sesungguhnya tubuh dan bagian-bagian tubuhnya adalah Muslim karena mau tak mau harus tunduk kepada aturan biologis ciptaan Tuhan. Begitu pula bulan, bintang, matahari, dan seluruh isi jagad ini. Semua makhluk yang tak memiliki kehendak bebas ini tidak punya pilihan dan dengan sendirinya tunduk dan Muslim secara “terpaksa”.
Bagaimana hubungan Islam dan Iman bila melihat kondisi umat Islam saat ini. Pertama, pemahaman dan pemaknaan Islam yang keliru telah menimbulkan kekisruhan dalam kehidupan umat. Kualitas Muslim lebih ditentukan oleh derajat keimanannya, bukan mazhab dan alirannya serta intensitas ibadahnya. Menghayati makna shalat atau memberi sedekah kepada fakir miskin lebih utama dari berapa banyak jumlah shalat sunnah yang kita lakukan atau berapa kali umroh telah kita lakukan. Memahami makna ayat-ayat Al Quran dengan benar lebih baik dari berapa banyak kita membaca Quran tanpa memahami arti dan maksudnya.
Kedua, kita tidak bisa mengatakan bahwa kelompok ini lebih tinggi dan lebih Islam dari kelompok itu sehingga timbul pengelompokan dan perpecahan di kalangan umat. Islam itu satu dan tidak bertingkat-tingkat. Yang bertingkat adalah iman seseorang seperti disebut dalam ayat 11 Surah al-Mujadilah di bawah ini:
“Niscaya Allah SWT akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah SWT Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (Surah al-Mujadilah/58: 11).
Hanya praktik keislaman yang dijaga dengan terus memelihara dan meningkatkan kualitas ruhaniyah iman kita yang akan menyelamatkan kita dan umat Islam dari keterpurukan di dunia dan akhirat. Semoga.
(dikutip dari IslamIndonesia)
Advertisement