Pelukis Mozes Misdy Telah Pergi, Semangatnya Tetap Abadi
Pelukis Mozes Mizdy dini hari tadi meninggal dunia setelah dirawat tiga hari di sebuah rumah sakit di Banyuwangi. Mosez, lahir dengan nama Misdi, 14 Desember 1938 di Gambiran, Banyuwangi. Jadi usianya 83 tahun ketika menginggal dan dimakamkan pagi ini.
Sebagai pelukis, Pak Moses, begitu dia biasa dipanggil, sangat produktif. Mungkin sudah lebih dari seribu karya yang dihasilkan. Semangatnya untuk melukis luar biasa. Beberapa tahun belakangan kesehatannya menurun. Jalannya nampak sempoyongan. Tapi dia tidak berhenti melukis.
Lukisannya, pada umumnya dengan obyek perahu nelayan dan bunga. Tersebar di ratusan kolektor, termasuk Siti Hadiati Rukmana atau Mbak Tutut, dan almarhum BJ Habibie.
Ciri karya Mozes adalah paletan dengan cat minyak yang tebal. Bertumpuk-tumpuk cat dengan polesan yang sangat berani di luar kewajaran karya pelukis pada umumnya, menjadi salah satu ciri karyanya. Ketebalan cat pada kanvas bisa setebal 5 sampai 7 cm. Bahkan ada yang tebalnya sampai 10 cm.
Djoko Sutrisno, pelukis asal Nganjuk, Jawa Timur yang sekarang bermukim di Ubud, Bali, tahun 1987 sampai 1995 pernah mendampingi Mozes dalam berkarya. Dia juga mendampingi Mozes ke beberapa kota. Menurutnya, karya Mozes terbagi dua, untukpasar dan untuk pameran.
“Untuk kebutuhan pasar, grasir catnya mungkin bertumpuk dua atau tiga kali. Tapi untuk lukisan yang akan dipamerkan, dia mengerjakannya lebih serius. Catnya bisa bertumpuk hingga lima kali. Kita yang melihat beranggapan lukisannya itu sudah selesai. Ternyata Belum. Tetap ditumpuk paletan tebal lagi, kemudian dipalet lagi, sehingga warna yang muncul di kanvas jadi unik. Dan itu yang tidak bisa ditiru pelukis lain,” kata Djoko Sutrisno.
Karena boros dengan cat itulah kemudian Mozes membuat cat sendiri. Banyak pelukis yang memanfaatkan cat minyak buatan Mozes. Mula-mula diberi gratisan, tetapi kemudian membeli dengan harga yang murah. Dan ini sangat membantu para pelukis. Sebenarnya Mozes sendiri juga ingin memproduksi catnya itu untuk tujuan komersial, tetapi dia gagal karena tak mampu memasarkannya.
Banyak sekali pula pelukis, tidak hanya mereka yang tinggal di Banyuwangi, yang merasa bangga menjadi murid Mozes Misdy. Rumah Mozes di beberapa kota, karena memang dia seringkali berpindah kota, tergantung domisili wanita yang dinikahinya, terbuka bagi pelukis lain untuk belajar. Terutama belajar bagaimana melukis dengan teknik palet, yaitu melukis dengan pisau palet, bukan dengan kwas. Bahkan kemudian tehnik ini ada yang menyebutkannya sebagai teknik ‘ngemoses’.
Menurut Djoko Sutrisno, harus diakui banyak pelukis yang terinspirasi dengan tehnik Pak Moses. “Penyederhanaan obyek, dan tehnik penumpukan warna dengan pisau paletnya mampu merubah apa yang sederhana jadi kekuatan,” kata Djoko.
Hari ini sekitar pukul 09.00, Misdi dimakamkan di pemakaman umum Desa Gambiran, Kecamatan Gambiran, kampung kelahirannya yang berjarak sekitar 35 kilometer sebelah barat Kota Banyuwangi. Di Gambiran alumni Akademi Pelayaran Indonesia ini lahir, di Gambiran pula dia kembali, setelah melakukan petualangan yang tiada henti. Misdi telah pergi tapi semangatnya akan abadi.