Pelukis dan Kolektor Tuban Sama-sama Membuat Kejutan
Lima pelukis asal Tuban sudah menyelesaikan pamerannya, hari Selasa 24 Juli kemarin. Pameran digelar di gedung Budaya Loka Tuban, sejak 19 juli 2018.
Sekitar 60 lukisan dipajang, dengan ukuran yang relatif besar. Bahkan ada yang berukuran 300 X 150 Cm. Ruang Budaya Loka yang luas, amat menunjang ditampilkannya lukisan ukuran besar, sebagian besar memiliki panjang rata-rata 2 meter.
Kelima pelukis itu, Robert Santari, Syaiful Amin, Qomarrudin, Chamil Hady dan Imaduddin, tampil dengan ciri khasnya masing. Memang, kelimanya memiliki profesi lain selain melukis. Karena itu mereka mampu mempertahankan apa yang selama ini mereka tekuni. Tanpa harus melakukan pelemahan terhadap visi.
Robert Santari (46) setia dengan lukisan lanskap pemandangan desa-desa di wilayah Tuban. Kering. Gersang. Dimensinya jauh ke sana, deretan pegunungan. Di setiap karyanya, Robert tidak lupa menancapkan beberapa pohon siwalan, sehingga tanpa diberitahupun seseorang akan tahu bahwa yang dilukis Robert adalah daerah pedesaan di Tuban. Pohon siwalan nampaknya sudah dipilih menjadi merknya.
Pada beberapa lukisannya dia menambahkan dengan sungai dengan airnya yang jernih mengalir pelan. Ada pula aliran sungai yang bergejolak karena menabrak batu kali. Aliran sungai pada lanskap Tuban, anggap saja sebagai mimpi masyarakat Tuban terhadap sungai. Memang, Tuban yang kering langka sungai.
Syaiful Amin (49) kelihatan terus berproses mencari sesuatu yang sublim, melalui goresan bentuk dan sapuan warna yang dia tafsirkan menjadi surealis. Dia terus menerus mencari, tidak pernah berhenti. Karena itu obyek lukisannya juga terus menerus berubah. Wanita, hewan, bunga, pohon, sawah, benda-benda keseharian, dan terakhir dia kelihatan sedang terjebak menggambar bukit-bukit batu yang menjulang tinggi menembus awan. Justru obyek yang terakhir ini yang perlu dia tekuni karena nampaknya lebih menjanjikan untuk Syaiful Amin.
Karya-karya Qomarrudin (26) juga hijau, seperti karya Rober Santari. Tetapi hijau warna Qomarrudin lebih basah dan lebih merata. Tanpa warna coklat sebagai simbol kering dan gersang. Batupun berlumut. Juga tanah. Juga pohon-pohonan.
Karya-karya Qomarrudin, yang termasuk lanskap, jelas bukan suatu tempat di Tuban. Hutan Qomarrdin juga bukan di Sumatera atau di Kalimantan. Boleh jadi hanya hutan di angan-angan. Itulah kekuatan imaginer Qomarrudin dalam melukis hutan. Sebagai catatan, Qomarrudin (26 tahun), adalah yang termuda di antara kelimanya .
Tapi dari kelimanya itu pula, hanya Imaduddin yang melukis kaligrafi. Dia melukis ayat-ayat Tuhan. Bukan menuliskan. Teks Al Quran yang dilukis lembut dengan goresan hati-hati, tiba-tiba menjadi awan, bergelung-gelung menabrak puncak bukit batu. Atau teks Arab itu berubah menjadi ombak di lautan.
Sebagai PNS di Pemkab Tuban, Imaduddin (57) sudah merasa tak perlu ikut hiruk pikuk di tataran horisontal. Dia asyik berada di wilayah yang vertikal. Dia menikmatinya dengan hati, diperkuat dengan penguasaan pada kwas dan cat yang dipergunakan. Warna-warna tidak harus disajikan secara solid.
Chamil Hady (40), tampil paling beda. Kemampuan teknisnya masih terus mencari obyek yang cocok dengan gagasan-gagasan yang ingin dia sampaikan. Dia menggambar siput laut, tetapi juga menggambar kucing, ikan laut, nasi goreng, kain batik dan kayu jati.
Terlalu banyak gagasan, mungkin. Akibatnya Chamil Hady nampak kehilangan kontinyuitas tema. Terlalu pendek periodisasi yang dijalani. Misalnya baru menggambar tiga karya mengenai misteri kehidupan yang ada di dasar laut, pada lukisan berikutnya dia sudah menggambar kain batik dengan pola dan warna yang khas Tuban. Tapi itulah Chamil Hady.
Video pameran Pelukis Tuban: kameraman must genthong:
Pameran lima pelukis Tuban yang bertajuk Whisper of Silence (Bisikan Sunyi) ini telah membuat kejutan tersendiri bagi masyarakat pecinta seni di Tuban. Ada yang menilai, pameran ini benar-benar tampil beda. Beda dalam hal penyajian, penataan, pencahayaan, dan juga dalam hal managemen.
Setiap lukisan diperkuat dengan satu lampu spot, dan lampu-lampu itu dibeli sendiri oleh masing-masing pelukis. Ini managemen pameran lukisan yang menarik. Dengan demikian kelimanya kini telah memiliki lampu spot sendiri-sendiri, untuk dipergunakan pada pameran atau even lebih besar yang mereka akan ikuti, di manapun.
Ada hal lain yang juga mengejutkan, bahkan mungkin tidak diperkirakan sama sekali oleh para pelukis. Yaitu respon kolektor yang ada di Tuban. Pada hari hari pertama tanggal 19 Juli, usai dibuka Kepala Dinas Pariwisata, Kebudayaan dan Pemuda/Olahraga Kabupaten Tuban, dua lukisan langsung ditandai oleh kolektor. Dan hingga penutupan, 17 lukisan dikoleksi orang lain, suatu hasil yang luar biasa untuk Tuban.
Untuk suatu even pameran lukisan, kwalitas memang penting. Kwalitas ini berhubungan tuntutan estetika, selain juga bisa membantu untuk mengetahui proses yang dilalui oleh para pelukis sampai di mana perjalanan kreatif mereka.
Tetapi ada hal lain yang tak kalah penting, yaitu respon masyarakat, dalam hal ini bisa saja dianggap kolektor. Apresiasi masyarakat akan lebih bermakna apabila dilanjutkan dengan mengoleksinya. Mencari tindak lanjut yang demikian ini tidak mudah, tetapi harus terus diupayakan.
Para pelukis Tuban, khususnya Robert Santari, Syaiful Amin, Qomarrudin, Chamil Hady dan Imaduddin, telah mendapatkan kesuksesan itu karena kerja gigih mereka didukung panitia yang solid dan inovatif. (anis)