Peluang Medsos
DALAM hal darurat, kalau perlu pecahkan kaca jendela.
Mantra itu diucapkan Jamie Raskin, dua tahun lalu.
Ia lulus magna cum laude dari Harvard Law School. Profesor hukum itu kini anggota DPR.
Sejak dua tahun lalu itu, ia melihat Presiden Trump itu berbahaya. Harus dibuat UU baru yang bisa mencopot presiden di tengah jalan.
"Kita harus lakukan sesuatu," ujar profesor 58 tahun itu.
Dua tahun kemudian yang memecahkan kaca jendela justru pendukung Trump. Tanggal 6 Januari lalu. Secara harfiah. Yang dipecah jendela kaca beneran. Jendela gedung Capitol, tempat Raskin merumuskan UU itu.
Di hari yang bahaya itu, Raskin ke DPR mengajak anak perempuannya: Tabitha. Hari itu si gadis tidak mau pisah dengan bapaknyi. Tabitha masih trauma. Dia sangat sayang bapaknyi.
Bahkan Tabitha tidak mau bapaknyi masuk kerja. Dia melihat keadaan politik sangat berbahaya. Bapaknyi, yang dikenal anti-Trump, bisa jadi korban.
Tabitha sampai ngamuk pagi itu. Yakni ketika bapaknyi terlihat tetap akan pergi, naik mobil.
Rumah mereka di negara bagian Maryland. Hanya sepelemparan batu dari Washington DC.
Sehari sebelumnya keluarga ini memang baru menguburkan kakak laki-laki Tabitha. Yang meninggal beberapa hari sebelumnya: bunuh diri.
Sang ayah sebenarnya juga masih sangat terpukul. Di lengan bajunya masih bertanda hitam –seperti tanda dari luka khas keluarga Yahudi.
Tommy, yang bunuh diri di umur 25 tahun itu, anak yang sangat cerdas. Ia kini tahun kedua di Harvard –untuk S-2 bidang hukum. Tommy mestinya akan bisa menjadi ahli hukum seperti Raskin –profesor hukum tata negara.
Tapi anak itu mengalami depresi. Bunuh diri.
Tabitha tidak ingin hari berikutnya adalah hari pengunduran sang bapak.
Tapi sang bapak tidak bisa absen.
"Saya harus ke Capitol. Saya sudah disumpah untuk menegakkan konstitusi," ujar sang ayah. Apalagi ia sudah ditunjuk sebagai ketua tim perumusan UU. Termasuk waktu impeachment dulu. Dan impeachment sekarang ini.
Acara sidang hari itu sendiri adalah pengesahan Joe Biden sebagai presiden terpilih. Yang dulu-dulu acara seperti itu hanya formalitas.
Empat tahun lalu, di acara pengesahan yang sama –untuk Presiden Trump–, Raskin termasuk yang menolak Trump disahkan. Alasannya: Pilpres kali itu disusupi Rusia. Tapi tidak sampai heboh-heboh. Penolakan biasa.
Kali ini beda. Sejak sehari sebelumnya ribuan pendukung Trump sudah membanjiri Washington DC. Keadaan sudah tegang.
Sang ayah akhirnya mengajukan jalan kompromi kepada gadisnya: Si Gadis diajak ke Capitol. Agar tetap bisa terus bersama. Ketika sang ayah bersidang, si gadis menunggu di ruang lain.
Ketika pendukung Trump memecahkan kaca Capitol sidang masih berlangsung. Raskin kepikiran anak gadisnya. Ia cari di ruang lain. Ketemu. Lagi sembunyi di bawah meja.
Raskin mendengar teriakan semakin dekat. "Gantung Mike Pence," bunyi teriakan itu. Itulah nama wakil presiden. Yang dianggap berkhianat kepada Trump.
Sebenarnya Pence tidak berkhianat. Sudah empat tahun ia setia –sambil menahan diri. Tapi hari itu ia tidak bisa tidak mengesahkan kemenangan Biden. Memang ia ketua sidangnya. Dan Trump berharap banyak.
"Tangkap Nancy Pelosi!" teriak yang lain. Ketua DPR ini memang lawan bebuyutan Trump.
Ayah-anak itu pun bertemu. Berangkulan. Lalu pindah ke tempat persembunyian. Bersama anggota Kongres lainnya.
Ruangan persembunyian ini tanpa jendela. Sampai sekarang masih dirahasiakan di sebelah mana. Raskin merasa tidak aman: banyak yang tidak pakai masker. Yakni yang dari Partai Republik. Lima orang akhirnya memang terkena Covid. Hasil dari persembunyian itu.
Istri Raskin adalah ahli keuangan. Yang bekerja di bank sentral. Bahkan pernah diusulkan oleh Presiden Barack Obama untuk naik tinggi: salah satu pimpinan bank sentral.
KELUARGA anggota Kongres AS Jamie Raskin, (dari kiri) Tabitha Raskin, Tommy Raskin,
Jamie Raskin, Hannah Raskin, dan Sarah Bloom Raskin.
Profesor Raskin-lah yang juga akan mengawal impeachment kepada Trump sekarang ini. Yang sudah disetujui DPR. Tapi hasil itu belum diajukan ke Senat. Tidak ada batas waktu kapan harus diajukan ke Senat.
Kalau diajukan sekarang bisa tidak sempat. Rabu lusa sudah pelantikan Presiden Biden.
Dan lagi, kalau diajukan sekarang bisa-bisa ditolak Senat –yang masih dikuasai partai Republik. Padahal perlu persetujuan 2/3 anggota Senat. Senat wajib menyidangkan ajuan DPR itu di hari kedua setelah diajukan.
Maka kemungkinan besar putusan DPR itu belum akan diajukan ke Senat. Dalam waktu dekat. Pun mungkin belum dalam 100 hari ke depan. Agar tidak mengganggu konsentrasi "100 hari pertama program Biden".
Sambil pula menunggu pelantikan dua anggota Senat baru. Hasil Pileg putaran kedua di Georgia. Yang dua-duanya sudah dimenangkan Demokrat. Yang satu seorang Pastur, orang hitam pertama mewakili Georgia. Yang kedua, seorang wartawan muda, orang Yahudi pertama mewakili Georgia.
Keduanya baru akan dilantik sebulan lagi. Itu akan membuat kursi Demokrat-Republik 50-50. Lalu Wakil Presiden yang jadi penentu –kebetulan Kamala Harris dari Demokrat. Begitulah konstitusi Amerika. Mike Pence juga sering jadi penentu kalau pemungutan suaranya seri.
Trump sendiri sudah pasti tidak mau hadir di pelantikan presiden. Tapi ia sudah mau meninggalkan Gedung Putih. Yakni Rabu pagi-pagi. Ketika Biden sudah berangkat ke acara pelantikan.
Di jam itu ia naik helikopter kepresidenan dari halaman Gedung Putih menuju Pangkalan militer di Maryland. Upacara pelepasan dilakukan di situ. Mintanya: harus dengan upacara militer. Juga, pakai karpet merah. Dan harus: dengan tembakan 21 kali.
Mudah-mudahan suara tembakannya tidak sampai kedengaran dari halaman Capitol –tempat Biden dilantik. Atau arah anginnya saja yang diatur. Agar tidak membawa suara itu ke tempat Biden dilantik.
Pangkalan militer itu memang hanya kurang 10 menit dari Gedung Putih. Atau setengah jam naik mobil.
Dari pangkalan militer ini, Trump akan terbang dengan pesawat kepresidenan ke rumah pribadinya: Marg-a-Lago, di Florida. Yang mulai juga dipersoalkan oleh Pemda di sana keabsahan izin-izin kegunaannya.
Trump pun sejak itu menjadi orang sipil. Mungkin dilupakan. Diabaikan. Dihujat. Atau diproses secara hukum –kalau ia belum sempat mengeluarkan dekrit pengampunan Presiden untuk dirinya sendiri.
Mungkin juga, ia yang justru akan banyak menggugat. Itu bagian dari hobinya: menggugat siapa saja.
Atau ia masih akan terus di politik: yakni berusaha bagaimana harus menguasai partai Republik. Agar menjadi miliknya. Dan keluarganya.
Kembali ke bisnis?
Entahlah. Bank-bank mulai menutup pintu untuknya. Termasuk bank yang selama ini memberi kredit terbesar padanya: Deutsche Bank.
Atau ia akan memprioritaskan membangun platform medsos sendiri. Dengan modal jualan aset lama. Atau patungan dengan investor. Ia tampak begitu terpenjara tanpa Twitter, Facebook, Instagram, dan YouTube. Mereka memblokir Trump secara permanen. Sejak peristiwa Capitol itu.
Ini peluang bagi developer medsos dari Indonesia. Bisa mengajukan konsep pesaing Twitter kepadanya. Ini peluang besar. Mumpung Trump lagi emosi. Apalagi Trump punya network di Indonesia. Bisa lewat network itu mestinya.
Saya pun semangat sekali menuliskan ini. Seperti lupa kalau lagi jadi pasien Covid-19 dengan status strong positif.(Dahlan Iskan)
https://www.disway.id/r/1193/peluang-medsos#.YASzqBDpfqg