Peluang Hadirnya Poros Ketiga Masih Terbuka
Siapa saja calon presiden yang bakal tarung melawan Jokowi? Sementara, ya, hanya Prabowo. Mungkinkah lahir Poros Ketiga? Kemungkinan selalu ada. Walau kemungkinannya semakin kecil. Namun dalam dunia politik kita, bukan tidak mungkin terjadi sesuatu yang tak terbayangkan. Bercermin dari pilpres yang lalu, 2014, siapa yang mengira JK mau menjadi cawapresnya Jokowi. Padahal sebelumnya, JK dengan lantang memperingatkan bangsa ini bahwa negara akan kacau bila rakyat memilih Jokowi.
Menarik juga untuk diamati bagaimana perilaku partai-partai yang maju ke medan laga Pilkada Jabar. Detik-detik jelang akhir penutupan pendaftaran cagub-cawagub Pilkada Jabar, terjadi sejumlah kejutan. Seorang cagub yang jauh-jauh hari digadang-gadang oleh partai tertentu, pada detik terakhir, ternyata digantikan secara mendadak oleh tokoh lain. Di sisi lain, figur yang sama sekali tidak pernah dihitung dalam bursa cagub, mendadak tampil diusung oleh salah satu partai gabungan. Kejutan lain, tak ada yang mengira bahwa para pensiunan TNI dan polisi akan diturunkan untuk berlaga.
Peristiwa sikap JK dan Pilkada Jabar bisa kita jadikan potret yang cukup sah mewakili gambaran bagaimana Pilpres 2019 akan berlangsung ketika menjelang detik-detik akhir penutupan pendaftaran capres dan cawapres 2019 di Agustus tahun ini. Bisa saja PKS ketika melihat realita pasar Pilpres 2019 yang kurang bergairah menyambut pencalonan Prabowo, akan berpikir ulang dan mengubah ajuan capres yang dianggap lebih berpeluang menang melawan Jokowi.
Atau, walau kecil kemungkinannya, Prabowo sendiri yang melempar handuk putih ke atas ring Pilpres 2019. Alasannya? Bisa soal back up dana yang kurang mendukung. Bisa juga karena menghitung secara jernih yang menghasilkan kesimpulan: masih sulit mengalahkan Jokowi pada Pilpres 2019! Prabowo pun mempersilakan calon yang ditunjuknya untuk maju berlaga karena dianggap lebih berpotensi untuk bisa mengalahkan Jokowi.
Lebih mengejutkan lagi ketika detik-detik jelang penutupan, tiba-tiba PDIP menarik dukungan kepada Jokowi karena terjadi dinamika di internal partai, disebabkan karena Jokowi menolak dipasangkan dengan salah satu kader PDIP. Atau sebaliknya, Jokowi memilih mundur menggunakan PDIP sebagai kendaraan politik untuk maju menjadi capres, karena tak sanggup menerima tawaran yang dijadikan sebagai persyaratan bagi Jokowi bila ingin maju diusung oleh partai berlambang Banteng mulut putih ini. Golkar, Nasdem dan Hanura, plus Demokrat, tentunya akan dengan senang hati menerima pelarian ‘sang petugas partai’ yang kabur karena tertekan ini.
Bisa juga terjadi, Golkar hengkang berkoalisi dengan PDIP. Alasannya karena kurang mendapatkan porsi kekuasaan yang memuaskan para fungsionaris Golkar dengan tawaran sejumlah kursi menteri yang dilempar kubu PDIP sebagai partai pengusung utama Jokowi. Ditambah lagi ketua umumnya tidak diposisikan sebaga cawapres pendamping Jokowi. Maka cukup hanya dengan menggandeng satu partai menengah saja, Golkar dapat mengusung sendiri calonnya. Bisa saja yang dicalonkan bukan ketua umumnya, namun figur yang dianggap berpeluang mengalahkan Jokowi.
Kemungkinan lain, bisa saja Demokrat meyakinkan PKB dan PPP untuk secara bersama mengusung figur baru. Semua bisa terjadi. Walau dengan catatan, kemungkinannya sangat kecil. Dalam kaitan ini PKB dengan Cak Imin-nya menjadi partai yang sangat diperlukan oleh siapa pun kandidat presiden yang ingin dirinya memenangkan Pemilu-Pilpres 2019. Dengan catatan, PKB dan Cak Imin mendapat dukungan penuh dari pengurus NU dan para kyai yang berpengaruh. Bila PKB mampu menjadikan dirinya sebagai perwakilan tunggal (institusi politik) kaum Nahdliyin, maka Cak Imin merupakan ‘gadis cantik’ yang bakal diperebutkan para satria yang akan berlaga di medan ‘pertempuran’ politik Pemilu-Pilpres 2019.
Dengan posisinya yang strategis ini, rayuan dan tekanan politik kepada diri Cak Imin akan sama besarnya. Upaya untuk menggiring Cak Imin (PKB) segera menyatakan dukungan pada Jokowi tanpa embel-embel Ketua Umum PKB diajukan sebagai Cawapres Jokowi, dipastikan cepat atau lambat pasti datang. Bisa jadi penekanan ini dilakukan bukan oleh lembaga politik atau partai politik, tapi oleh institusi yang mempunyai kekuatan senjata, hukum, dan finansial, berikut kekuasaan yang melekat pada lembaga sang penekan.
Pendek kata, munculnya Poros Ketiga akan tertutup bila Jokowi bisa mengendalikan partai-partai pendukungnya. Bila yang terjadi sebaliknya, maka kemungkinan lahirnya Poros Ketiga menjadi semakin melebar.
Sumonggo Pak Jokowi… bola di tangan Anda!
*) Erros Djarot adalah budayawan, seniman, politisi dan jurnalis senior - Tulisan ini dikutip sepenuhnya dari laman Watyutink.com