Pelaku Penganiayaan dan Perundungan Siswi SMP Tak Cukup Dihukum
Penanganan kasus penganiayaan dan perundungan atau “bully” terhadap AU (Audrey) siswi SMP oleh belasan siswa SMA di Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, harus dilihat secara objektif karena pelaku tidak cukup hanya mendapatkan hukuman saja.
“Pelaku bully itu salah sekali, dan harus ada konsekuensinya agar ada efek jera. Tapi pelaku juga harus direhabilitasi,” kata Psikolog Klinis Anak, Violetta Hasan Noor kepada ANTARA di Pekanbaru, Rabu.
Ia menilai, penanganan kasus tersebut tidak bisa melihat dampak ke korban saja karena pelaku bisa jadi merupakan korban perundungan. “Kita harus melihat dari secara objektif, bukan sisi emosional saja,” katanya.
Menurut dia, pelaku pada kasus tersebut harus mendapat pendampingan psikologis. Artinya, penanganan harus mencapai sumbernya, karena pasti ada akar permasalahan yang memicu mereka.
Menurut Violetta Hasan Noor, mayoritas anak muda kini cenderung gampang marah, emosian dan agresif, itu tidak lepas dari lemahnya peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai luhur sejak dini. Orangtua di zaman modern terlalu sibuk dengan dunia kerja, minim memberikan sentuhan perhatian bahwa anak harus diajarkan tentang empati, gotong royong dan toleransi.
Karena itu, Violetta menilai, pelaku perundungan bisa dikategorikan sebagai korban juga akibat kelalaian pengawasan orangtua. Pelaku “bully” di hati kecilnya adalah seorang yang haus perhatian dan ingin sentuhan kasih sayang, yang tidak mereka dapatkan dari orangtua dan lingkungannya.
“Pasti ada akar permasalahan. Kita harus ajarkan pendekatan ke mereka tentang anger management. Kalau saat marah bagaimana penanganannya, klo tidak suka sama orang bagaimana caranya. Karena dia (pelaku) harus menjalani lagi hidup ke depannya,” ujarnya.
Untuk kasus tersebut, lanjutnya, kedua pihak harus ditolong. AU sebagai korban harus mendapat keadilan hukum dan penanganan psikologis, sedangkan para pelaku harus mendapat efek jera namun tidak cukup hanya menghukum akibat perbuatannya saja.
“Kalau misalnya dia tidak kita tolong, ke depannya dia akan makin menjadi jahat. Jahatnya dia karena kita secara masyarakat tidak menolong dia, hanya sekadar menghukum dia, tanpa memberikan solusi kepada dia,” kata Violetta.
Kasus yang menimpa AU menjadi perhatian nasional karena menyebar luas di dunia maya atau viral, bahkan tagar #justiceforAudrey menjadi topik bahasan utama selama dua hari terakhir.
Penanganan kasus ini dilakukan oleh pihak kepolisian bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati mengatakan, pengroyokan dan perundungan terhadap AU dilatarbelakangi motif asmara.
Menurut dia, proses penyelesaian kasus tersebut harus dilandaskan pada Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang menyebutkan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) adalah anak pelaku, korban dan saksi.
Komisioner KPAI bidang Pengasuhan mengatakan SPPA lahir dengan prinsip "restorative justice" atau pemulihan situasi anak pada kondisi semula. (ant)