Pelaku Pencabulan 305 Anak di Bawah Umur Mati Bunuh Diri
Komisi Perlindungan Anak Indonesia berpandangan, meski pelaku kasus eksploitasi seksual 305 anak, Francois Abello Camille alias Frans (65), meninggal dunia diduga akibat bunuh diri, tidak berarti kasus ini telah berakhir.
Menurut KPAI, masih ada yang harus ditangani lebih serius, yakni nasib para korban yang rata-rata di bawah umur. "Tugas belum selesai, sekarang kita harus menyelamatkan para korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang warga negara Prancis Francois Abello Camille," kata Komisioner KPAI, Retno Restyarti, Selasa 14 Juli 2020.
Retno menyayangkan pelaku telah berusaha menutup cerita kelam ini dengan bunuh diri di kamar tahanan polisi supaya ia terbebas dari hukuman. "Saya heran, Frans dapat dari mana kabel yang dipergunakan menjerat lehernya, apa ini bukan kelengahan polisi," tanya Retno.
Warga Negara Asing Prancis ini meninggal dunia pada Minggu 12 Juli 2020 malam akibat upaya bunuh diri.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus, mengatakan tersangka Frans kepergok menjerat lehernya sendiri menggunakan kabel di dalam sel Rutan Polda Metro Jaya pada Kamis 9 Juli 2020.
"Saat petugas jaga tahanan melakukan patroli pengecekan di ruang-ruang tahanan menemukan FAC dalam kondisi terikat lehernya dengan seutas kabel. Ada kabel yang terikat tetapi tidak tergantung," kata Yusri di Mako Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin 13 Juli 2020.
Frans dalam kondisi lemas saat kepergok. Petugas kemudian langsung melepaskan jeratan kabel tersebut dan melarikan tersangka ke RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.
"Sempat diketahui oleh petugas, saat itu juga dan kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati untuk dilakukan perawatan dan tindakan medis," ujarnya.
Meski sudah mendapat perawatan medis di rumah sakit, tersangka akhirnya mengembuskan napas terakhirnya pada Minggu malam sekitar pukul 20.00 WIB.
"Kurang lebih tiga hari dilakukan perawatan, tadi malam sekitar pukul 20.00 WIB tersangka tersebut meninggal dunia," kata Yusri.
Terkait kabel yang digunakan tersangka untuk gantung diri, Yusri menjelaskan memang ada kabel yang terpasang di plafon sel yang ditempati oleh Frans.
Namun kabel itu letaknya sangat tinggi dan tidak terjangkau oleh tersangka yang pernah ditahan di sel tersebut.
Meski demikian tersangka Frans yang berperawakan cukup tinggi memanjat tembok kamar mandi dan berhasil menggapai kabel itu dan menggunakannya untuk menjerat lehernya sendiri.
"Setelah dilakukan rekonstruksi diketahui memang betul bahwa memang kabel itu sangat tinggi dan tidak mungkin bisa digapai, kabel itu adanya di ujung (atas) dalam sel tahanan khususnya," kata dia.
Pada kesempatan yang sama, Kabid Dokkes Polda Metro Jaya, Kombes Pol dr Umar Shahab mengatakan penyebab kematian Frans adalah akibat kekurangan pasokan oksigen ke otak dan organ-organ penting lainnya.
"Diagnosa dari dokter yang merawat jelas, hasil rontgen ada retak tulang belakang di leher. Jadi menyebabkan sum-sumnya itu kena jerat, sehingga mengakibatkan suplai oksigen ke otak dan organ-organ penting itu berkurang, itu yang menyebabkannya," ujar Umar.
Polisi hingga Senin baru berhasil mengidentifikasi 19 dari 305 anak yang menjadi korban eksploitasi seksual warga negara asing berkebangsaan Prancis tersebut.
"Kami akan terus berupaya untuk bisa mengidentifikasi korban-korban. Mereka warga kita, anak-anak kita semuanya," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol. Yusri Yunus di Mako Polda Metro Jaya, Senin lalu.
Yusri menyebutkan jumlah anak korban eksploitasi Frans mencapai 305 orang berdasarkan jumlah video tidak senonoh yang ditemukan penyidik dalam laptop Frans.
Kendala utama pihak kepolisian dalam mengidentifikasi korbannya adalah hampir semua korbannya tidak mempunyai KTP elektronik.
"Saya sampaikan lagi bahwa kendala di sini mengindentifikasi si korban-korban yang lain, memang ada gambarnya. Kalau sudah punya e-KTP kami bisa karena sudah ada alat face recognition (pengenalan wajah)," ujar Yusri.
Yusri berharap bisa segera mengidentifikasi anak-anak korban eksplotasi seksual tersebut agar bisa segera mendapatkan pendampingan dan penanganan oleh Kementerian Sosial.
"Sudah disampaikan oleh Mensos langsung bahwa dalam hal ini kami harus kerja sama dengan Kemensos dan PPA untuk bisa trauma healing terhadap korban," katanya.