Pelaku Meme Iriana dan Teori Inferiority Complex
Oleh: Djono W. Oesman
Trending medsos: Foto Ibu Negara Indonesia dibandingkan Ibu Negara Korsel. Karya @KoprofilJati di Twitter, Kamis, 17 November 2022. Ambyar morat-marit. Polri pun nimbang: Perlu laporan korban atau langsung sidik?
----------
Unggahan sepele itu, menggalaukan. Mengocok kalbu bangsa. Iriana Joko Widodo bukan ibu biasa. Melainkan Ibu Negara Indonesia. Ibu kita semua, yang merasa berbangsa Indonesia.
Menukik lagi, itu perbandingan kompetitif. Indonesia versus Korsel. Dalam interpretatif: Menang Korsel. Terkait gelaran KTT G20 di Bali yang anggun.
Saking anggun, sampai Presiden AS, Joe Biden goyang manggut-manggut, di dinner party di Garuda Wisnu Kencana, Bali, 15 November 2022. Saat ia nonton lengkingan penyanyi lagu Denpasar Moon.
"Denpasar moon... Shining on, an empty street..."
Lagu giras. Karya legendaris, si cantik Maribeth, warga negara Filipina. Pengagum Bali.
Biar jelas, kronologinya begini: Kamis, 17 November 2022, @KoprofilJati di Twitter mengunggah foto dua perempuan. Ibu Negara Korsel, Kim Keon Hee, muda cantik, kaos putih bawahan gelap. Ibu Negara Indonesia, Iriana Joko Widodo, anggun mempesona, berkebaya lengkap dengan kerudung.
Foto itu diberi keterangan, bentuk dialog, begini:
"Bi, tolong buatkan tamu kita minum."
"Baik, Nyonya."
Maka heboh. Viral luar biasa. Mengglobal-internasional. Akhirnya unggahan dihapus si pengunggah sendiri, di hari itu juga. Disusul kemudian, permintaan maaf.
Kalbu kita terkocok otomatis. Morat-marit. Antara karya kita menakjubkan para tokoh internasional, dengan karya orang kita sendiri, yang rendah diri.
Rendah diri, dalam psikologi disebut Inferiority Complex. Bukan penyakit. Melainkan kondisi jiwa, berupa perasaan tidak mampu, rendah, kalah, bahkan hina, yang intens. Bersifat kronis.
Alfred Adler dalam bukunya: "The Science of Living" (Routledge, 2013) menyebutkan, perasaan rendah diri disebabkan pola didik anak saat balita, yang membuat si balita merasa selalu kalah. Misal, selalu kalah dibanding dengan saudara. Atau selalu diperlakukan buruk oleh teman sebaya. Atau oleh cerita-cerita ortu, bahwa keluarga mereka memang rendahan dibanding masyarakat.
Pengalaman masa kecil itu mengendap di otak bawah sadar. Menggumpal jadi memori. Menghasilkan Inferiority Complex.
Alfred Adler lahir di Wina, Austria, 7 Februari 1870, meninggal di Aberdeen, Britania Raya, 28 Mei 1937. Psikolog Universitas Wina, yang melahirkan teori itu pada 1900.
Belasan tahun kemudian, Cambridge Dictionary of Psychology menyebut sebagai: Adlerian Psychology. Atau, Bapak Teori Inferiority Complex. Ilmu ini dipelajari di Fakultas Psikologi hingga kini. Terutama di pasca-sarjana.
Adler membagi Inferiority Complex dalam dua bentuk:
1) A Primary Inferiority. Perasaan inferioritas primer, berakar dari pengalaman asli kelemahan, tak berdaya, dan ketergantungan anak kecil. Akibat kurang penerimaan dan kasih sayang ortu. Atau bisa juga akibat kelemahan konstitusional yang sebenarnya.
Definisi itu didukung, diperdalam, oleh duet profesor: Richard Langton Gregory dan Oliver Louis Zangwill dalam buku mereka, "The Oxford Companion to the Mind" (Oxford University Press, 1987), bahwa teori Adler itu masuk wilayah Neuropsikologi.
Prof Gregory (1923 - 2010) adalah guru besar Neuropsikologi di University of Bristol, Britania Raya. Sedangkan, Prof Zangwill (1913 - 1987) Guru Besar Psikologi Eksperimental, Cambridge University, Britania Raya.
Mundur ke Neuropsikologi, adalah bidang psikologi klinis dan eksperimental, mempelajari hubungan antara struktur dan fungsi otak dengan proses dan perilaku psikologis.
Neuropsikologi digunakan untuk riset pada manusia dan hewan primata atau bangsa monyet. Yakni, hasil pantauan aktivitas listrik dari sel-sel otak individual manusia dan primata. Misal, monyet otomatis jago berayun gelantungan, tanpa diajari (David G. Andrewes: "Neuropsychology, From Theory to Practice, New York Psychology Press, 2001).
2) A Secondary Inferiority. Perasaan inferioritas sekunder, berhubungan dengan pengalaman orang dewasa yang tidak mampu mencapai tujuan akhir fiktif bawah sadar. Misal, kepingin jadi orang begini, ternyata jadi begitu.
Tujuan akhir fiktif bawah sadar, adalah representasi keamanan psikologi subyektif yang ada di setiap individu. Ketika itu tidak tercapai, individu merasa kalah, lemah, bahkan hina. Perasaan inilah Inferiority Complex.
Perasaan ini ada pada bangsa kita, kata banyak pakar, akibat penjajahan Belanda 350 tahun. Walaupun awalnya Belanda datang ke Nusantara untuk berdagang. Benarkah?
Dikutip dari web resmi Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Kamis, 14 April 2016, bertajuk: "Kolonial Wariskan Sikap Minder dan Rendah Diri", dipaparkan di seminar, bertajuk:
"Seminar Nasional Empowering Self" digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik, Universitas Islam Sultan Agung, Sabtu, 2 April 2016 di Kampus Unissula Semarang. Dihadiri sekitar 400 peserta.
Di situ, Guru Besar Psikologi Klinik, Universitas Gadjah Mada, Prof Kwartarini Yuniarti PhD Psi sebagai pembicara mengatakan, 350 tahun kita dijajah Belanda mengubah mental kita jadi rendah diri. Minder. Dari generasi ke generasi.
"Penjajah juga menerapkan politik devide et impera, atau politik pecah belah serta kolonialisasi atau semangat penindasan. Ini masih berakar di masyarakat kita sekarang. Perbedaan jadi sumber pertengkaran."
Dilanjut: "Maka, kita harus bangkit dari keterpurukan ini."
Meski tidak berkaitan, isi seminar itu kebetulan berkorelasi dengan isi permintaan maaf pemilik akun @KoprofilJati yang dianggap publik, menghina Ibu Negara, Iriana Joko Widodo.
@KoprofilJati diketahui bernama Kharisma Jati (36). Orang Jawa. Tinggal di Bantul, DIY. Komikus. Pernah sekolah di SMA Negeri 7 Yogyakarta. Menikah, punya seorang anak. Karya terakhirnya komik seks pada 2013 bertajuk: "17+". Isi permintaan, begini:
1) "Dengan ini saya, Kharisma Jati, meminta maaf kepada Keluarga Besar Presiden RI atas unggahan saya di media sosial yang menyinggung perasaan anggota keluarga Bapak Presiden Joko Widodo, termasuk kerabat; staf; dan pejabat di lingkungan kepresidenan. Permintaan maaf ini saya nyatakan dengan tulus dari lubuk hati yang paling dalam, tanpa unsur keterpaksaan maupun kepura-puraan."
2) "Dan jika dari pihak terkait bermaksud mengadakan tuntutan hukum maka saya akan menerima dengan lapang dada atas segala hukuman yang adil dan setimpal."
3) "Namun tidak ada sedikit pun permintaan maaf saya terhadap para pendukung fanatik rezim ini, yang merasa bisa berbuat sesukanya sendiri tanpa mengindahkan moral dan etika, karena saya bukan penjilat; pembeo; maupun perundung, dan tidak sedikitpun saya membenarkan perbuatan semacam itu. Framing, fitnah, dan ujaran kebencian yang mereka buat hanya mencerminkan arogansi dan kemunafikan mereka."
Sangat jelas. Di poin nomor tiga, berkorelasi langsung dengan "devide et impera" kata Prof Kwartarini. Sisa kampaye Pilpres 2014, berlanjut ke kampanye Pilpres 2019: Politik identitas berbasis agama.
Ustadzah Neno Warisman, berdoa menggelegar di Malam Munajat 212 di Lapangan Monas, Jakarta, Kamis, 21 Februari 2019. Bukan saja membuat ratusan ribu umat di Monas menangis. Juga masyarakat Indonesia miris, ngeri...
Tentu, Neno disuruh dan mau. Disuruh oleh pencetus politik identitas, demi meraih kekuasaan negara. Politik beridentitas agama, paling efektif di Indonesia, dan tidak (atau belum) dilarang konstitusi.
Buat tokoh yang menyuruh, juga tidak salah. Sah secara hukum.
Psikoanalis Sigmund Freud, dalam karyanya: "The Standard Edition of the Complete Psychological Works of Sigmund Freud" (1999) membedah struktur psikis manusia, ada tiga: Id, Ego, Super-ego.
Id kebutuhan dasar: Makan, minum, pakaian, rumah, dimuliakan oleh masyarakat. Wajib terpenuhi. Super-ego berperan kritis (mikir) berdasar moralitas, normal sosial atau hukum. Ego menengahi hasrat Id berperang melawan Super-ego.
Politikus identitas agama, merasa sah mengerahkan identitas agama, karena itulah paling efektif. Ego mereka menyatakan, tindakan itu benar dan sah. Maka jadilah.
Bahwa efeknya negatif dan mendalam di masyarakat, bukan lagi urusan sang politikus. Yang sudah berkuasa. Apalagi yang gagal berkuasa.
Tanpa teori ilmu politik, masyarakat paham hal ini. Hati masyarakat merasa adem. Terpenting buat mereka, di tengah kemiskinan Indonesia, kampanye politik adalah padat karya. Setara menunggu lamaran kerja.
Di kasus Kharisma Jati, Polri kini menimbang-nimbang. Memproses atau tidak. Menangkap Kharisma Jati atau membiarkan saja.
Direktur Tindak Pidana Siber, Bareskrim Polri, Brigjen Adi Vivid kepada pers, Jumat (18/11) mengatakan: "Kita sudah temukan unsur dugaan pidananya,"
Berarti Kharisma Jati bakal ditangkap polisi. Tunggu saatnya.
Terbaru, Kabid Humas Polda DIY, Kombes Yuliyanto kepada pers, Minggu, 20 November 2022 mengatakan, kasus ini masuk delik aduan. Harus ada laporan polisi (LP) dari pihak yang merasa dirugikan, tanpa diwakili.
Kombes Yulianto: "Polda DIY belum melakukan penangkapan. Karena sampai sekarang belum ada LP."
Apakah Iriana Joko Widodo akan lapor polisi? Ini pertanyaan yang tidak patut. Dia Ibu Negara Indonesia. Perlu-kah melapor?
Tapi, coba simak reaksi ananda Jokowi-Iriana, Kaesang Pangarep, melontarkan pertanyaan ditujukan ke Kharisma Jati, 18 November 2022:
"Lha, terus maksudmu gimana?"
Kalau dalam Bahasa Surabaya, begini: "Karepmu opo, Cuk?"
Jelas ia marah, ibu kandungnya dibegitukan. Tapi, beberapa jam kemudian Kaesang mengunggah begini:
"Habis di-WA sama ibuk. Disuruh sabar. Yowes, aku sabar,"
Di situ pertanda, Iriana tidak akan lapor polisi. Maka, kasus ini (sesuai konstitusi) tidak akan diproses polisi. Lha, dampak tidak diproses, bagaimana? Di masa depan?
Ini jadi contoh kasus yang pelik. Ditonton rakyat Indonesia. Juga internasional. (*)
Advertisement