Pelajaran Imam Syafii, Cara Hindari Makanan Haram
Ada satu cerita yang sangat masyhur mengenai seorang pemuda bernama Idris. Dalam perjalanan pulang setelah belajar agama, ia menyusuri sungai panjang. Suatu ketika ia melihat buah delima mengapung di atas sungai tersebut. Karena merasa lapar, tanpa pikir panjang ia kemudian memakan buah delima itu.
Akan tetapi baru separuh ia memakan buah delima, tiba-tiba ia ingat bahwa buah yang ia makan bukanlah miliknya. Buah delima itu adalah milik orang lain yang mempunyai pohon delima. Maka mulailah muncul keraguan dalam diri Idris: Apakah orang yang mempunyai pohon delima itu mengikhlaskan buah delima yang ia makan?
Kalau tidak berarti ia telah memakan makanan yang haram. Perutnya telah terisi makanan yang haram. Idris berhenti memakan buah delima. Dia berniat menemui si pemilik pohon delima dan meminta kehalalan buah yang telah ia makan.
Idris berjalan menelusuri sungai berlawanan dengan arah arus. Ia berharap akan menemukan pohon delima di pinggir sungai tersebut. Setelah sekian lama berjalan, ia melihat satu pohon delima yang buahnya mirip dengan yang ia pegang, masih sisa setengah dari yang sudah dimakannya tadi. Di dekat buah delima itu ada satu rumah. Ia memberanikan diri mengetuk pintu, namun tidak terdengar seorang pun di rumah itu.
Tekad Idris untuk mendapatkan ridha dari si pemilik buah itu cukup bulat, sehingga ia menunggu pemilik buah delima itu datang. Setelah sekian lama menunggu, seorang ayah paruh baya datang ke rumah itu dan tentu saja Idris lansung menemui orang itu dan menyampaikan maksudnya. Benar, orang itulah yang mepunyai pohon delima yang buahnya sudah dimakan oleh Idris. “Saya meminta ridha dan keihlasan Anda, karena buah delima Anda sudah saya makan.”
Ayah setengah baya itu tertegun sesaat. Kenapa masih ada seorang pemuda yang jujur seperti ini. Ia bersusah payah menemui seseorang hanya untuk meminta kehalalan buah delima yang sudah dimakannya. Kemudian ayah paruh baya tadi mengatakan kepada Idris. “Kalau engkau minta saya meghalalkan buah delima itu, enhgkau harus bekerja di kebun saya selama setahun. Tanpa dibayar.”
Idris tidak berpikir lama, langsung menjawab, “Saya bersedia demi kehalalan buah delima yang telah saya makan”.
Setelah hari demi hari, bulan demi bulan terlewati, sampailah saat yang ditunggu. Idris telah satu tahun bekerja di kebun pemilih pohon delima itu tanpa dibayar dan ia hendak berpamitan pulang ke rumah orang tuanya. Tapi pemilik pohon delima menahannya. “Engkau baru melaksanakan satu syarat. Ada satu syarat lagi yang harus kau penuhi agar aku menghalalkan buah delima yang engkau makan.”
Idris tertegun, kemudian bertanya, “Apa yang harus saya lakukan lagi agar engkau menghalalkan buah delima yang telah aku makan?” Pemilik pohon delima menjawab, “Engkau harus menikahi putriku!”
Idris sekali lagi tertegun, namun belum sempat Idris menjawab, pemilik kebun itu meneruskan perkataannya. “Tapi anak gadis saya dalam keadaan buta, tuli dan bisu. Apakah engkau bersedia menikahi putriku dalam kondisi yang seperti itu?”
Demi mendapatkan kehalalan buah delima yang telah ia makan, Idris akhirnya menerima tawaran pemilik pohon delima untuk menikahi anak gadisnya.
Tibalah saat yang telah ditentukan. Orang tua pemilik pohon delima menikahkan Idris dengan putrinya, dihadiri para saksi. Kemudian berikutnya Idris dipertemukan dengan gadis yang sekarang telah menjadi istrinya itu. Sekarang mereka berdua di kamar. Betapa terkejutnya Idris setelah membuka penutup wajah istrinya. Ia melihat mata istrinya itu indah berbinar memandang suaminya. Parasnya juga cantik. “Kata ayahmu, engkau adalah seorang gadis buta.”
Belum sempat Idris meneruskan perkataannya, gadis yang sekarang menjadi istrinya itu mengatakan, “Ayahku mengatakan mataku buta karena mataku tidak pernah digunakankan untuk maksiat. Ayahku mengatakan telingaku tuli karena tidak pernah digunakan untuk mendengarkan ghibah dan namimah. Ayahku mengatakan mulutku bisu karena mulutku tidak pernah digunakan untuk berkata-kata yang menyakiti hati orang lain.”
Ternyata orang tua pemilik pohon delima yang sekarang menjadi mertuanya itu memperhatikan betul siapa Idris pada saat bekerja di kebunnya selama satu tahun. Idris adalah seorang pemuda yang cakap bekerja dan taat beribadah serta berperilaku baik selama bekerja.
Sikapnya yang rela berbuat apa saja agar buah delima yang dimakannya diikhlaskan oleh pemiliknya membuat orang tua itu terpesona dan ingin menikahkan pemuda itu dengan anak gadis kesayangannya.
Siapakah Idris itu? Dari perkawinannya dengan gadis pemilik pohon delima itu lahirlah seorang putra yang sangat alim, seorang ahli fikih yang sangat populer di dunia Islam yaitu Imam Syafi’i yang fatwa-fatwanya diikuti oleh sebagian besar kaum muslimin di dunia terutama di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Hikmah apa yang bisa kita ambil dari cerita barusan? Pertama adalah terkait dengan kejelihan para orang tua dalam memilihkan jodoh untuk anak-anaknya. Kedua yang ingin disampaikan dalam kesempatan ini adalah mengenai usaha yang harus kita lakukan untuk mendapatkan makanan yang halal; mendapatkan nafkah yang halal; rizki yang halal.
Nafkah yang halal akan menyebabkan rizki kita menjadi berkah. Dari makanan dan minuman yang halal juga mudah-mudahan akan melahirkan generasi yang baik; generasi yang unggul.
Hikmah yang bisa diambil dari cerita yang telah disampaikan adalah bagaimana kita bisa menghindari makanan yang haram, atau lebih luas lagi menghindari nafkah yang haram.
Dalam Islam, haram itu terbagi menjadi dua. Pertama haram karena cara mendapatkannya, atau haram lighairihi. Yaitu makanan diperoleh dengan cara yang tidak halal: Yakni makanan milik orang lain, ghasab, makanan atau nafkah yang diperoleh dari hasil mencuri, dari hasil korupsi, dari hasil menipu, dari hasil riba, dari hasil pungli dan seterusnya. Ada yang haram karena jenis makanan itu sendiri atau haram lidzatihi.
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah. QS An-Nahl ayat 115:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Bahwasanya Allah telah mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi atau celeng, dan binatang yang tidak disembelih karena Allah. Kecuali dalam keadaan darurat dan sangat terpaksa, dan tidak berlebihan, maka Allah SWT maha pengampun dan maha penyayang.
Allah SWT juga berfirman, dalam surat Al-Baqarah ayat 168:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Wahai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Perintah mengkonsumsi makanan yang halal di atas juga disandingkan dengan istilah “thayyibah” (حَلَٰلًا طَيِّبًا). Para ulama tempo dulu mngartikan thayyib ini dengan lezat karena ketika itu belum ada rekayasan genetika; belum ada makanan dengan campuran bahan yang bermacam-macam. Sekarang, pengertian thayyib ini dijabarkan secara lebih kontekstual, yakni makanan yang tidak berbahaya bagi tubuh.
Ada tubuh yang karena sakit tidak cocok dengan jenis makanan tertentu. Ada jenis makanan yang kelihatan lezat, mahal dan higienis akan tetapi sangat tidak baik bagi tubuh; baik dalam jumlah sedikit apalagi dalam jumlah yang banyak.
Banyak sekali hal, atau khazanah yang perlu terus kita simak dan perlu kita baca terkait makanan yang halal dan yang kharam; baik jenis makanan itu sendiri atau lidzatihi, maupun karena cara memperolehnya atau lighairihi.
Marilah kita lindungi diri kita, keluarga kita, anak-anak kita dari mengkonsumsi makanan-makanan yang tidak jelas kehalalannya hanya memperturuti iklan dan gaya hidup. Kita membeli makanan-makanan saudara-saudara kita sesama muslim, makanan rakyat Indonesia yang jelas-jelas kehalalannya, yang disembelih dengan cara yang benar, yang disembelih karena Allah, yang berasal dari bahan-bahan yang tidak dilarang dalam Agama Islam.
Kita mengkonsumsi bahan makanan yang berasal dari saudara-saudara kita sesama muslim, makanan rakyat, dalam rangka berbagi rizki untuk sesama saudara kita dan dalam rangka menggerakkan ekonomi umat Islam. Juga, marilah kita membiasakan diri mengkonsumsi makanan yang thayyib, yang tidak mengandung bahan-bahan kimia atau bahan lain yang membahayakan tubuh kita.
Semoga kita senantiasa mengkonsumsi makanan yang halal dan baik, حَلَٰلًا طَيِّبًا . Semoga kita senantiasa menjaga diri dari memperoleh makanan yang tidak halal, semoga kita bisa menjaga diri ketika mencari nafkah atau harta benda yang akan kita gunakan untuk keperluan sehari-hari bersama keluarga.
Semoga kita dilindungi oleh Allah SWT dari mendapatkan makanan atau nafkah yang haram. Amin ya Rabbal Alamin.
A. Khoirul Anam
(Pusat Studi Halal UNUSIA Jakarta, Suplemen khutbah)
Advertisement