Pelajaran dari Para Cerpenis Yogya
PERTANYAAN yang sering muncul di dalam pelatihan atau pelajaran di kelas-kelas menulis adalah bagaimana proses kreatif penulisan cerpen (cerita pendek). Para reporter media pun sering menanyakan proses kreatif ini kepada penulisnya saat ada peluncuran buku kumpulan cerpen. Para pembelajar itu ingin mendapatkan gambaran proses kreatif yang bisa dijadikan referensi atau pijakan untuk menulis cerpen. Sedangkan reporter ingin menginformasikannya kepada khalayak pembaca agar laporannya menginspirasi.
Buku Mider ing Rat; Proses Kreatif Cerpenis Yogyakarta, menjawab hal tersebut. Buku setebal 354 halaman yang baru dilaunching Selasa (11/12/2018) lalu, berisi mengenai proses kreatif 32 cerpenis Yogyakarta. Ada perempuan cerpenis seperti Abidah El Khalieqy, Evie Idawati, Herlinatiens, Esti N Kasam, Maria Widy Aryani, Rina Ratih dan Risda Nur Widia. Ada pula Agus Noor, Edy AH Iyubenu, Ikun Sri Kuncoro, Indra Tranggono, Mustofa W Hasyim, Puntung CM Pudjadi, Whani Darmawan, Budi Sardjono, dan R Toto Sugiharto. Dua nama terakhir bersama Ratun Untoro menjadi editor buku.
Editor memilih 32 dari puluhan cerpenis yang ada di Yogyakarta. Ke-32 cerpenis ini merupakan “perwakilan” dari beragam latar belakang profesi, budaya dan usia. Keragaman ini menjadi salah satu kekuatan buku Mider ing Rat. Pembaca bisa belajar proses kreatif dari cerpenis yang sudah memiliki karya melimpah maupun yang belum. Tidak hanya proses kreatifnya, buku yang diterbitkan Balai Bahasa Yogyakarta (BBY) ini sekaligus memuat 32 cerpen yang diulas penulisnya untuk dijadikan contoh.
Pembaca buku Mider ing Rat, misalnya, bisa belajar proses kreatif dari seorang Agus Noor. Cerpenis yang tiga tahun berturut-turut (2008-2010), karya cerpennya masuk ke dalam buku Cerpen Indonesia Terbaik Pena Kencana. Dalam buku Mider ing Rat, Agus Noor menyertakan cerpen Kartu Pos dari Surga. Ini adalah cerpen yang dia tulis hanya dalam waktu dua jam dari proses yang berlangsung satu setengah tahun. Cerpen yang idenya muncul karena tragedi jatuhnya pesawat Adam Air di perairan Majene (1/1/2007) tapi baru ia ditulis September 2008.
Agus Noor harus menunggu satu setengah tahun. Ia tak segera menuliskannya. Alasannya, tidak ingin sekedar menceritakan ulang kisah pesawat yang jatuh itu. Ia ingin ada jarak dari peristiwa tersebut agar bisa menemukan kisah yang tidak serta merta penceritaan ulang sebuah kejadian yang dengan gampang dikenali sumber peristiwanya. “Sebuah fiksi, tidak boleh tergantung dari peristiwa yang berada di luar fiksi itu sendiri,” tulis Agus Noor. (hal 22)
Proses kreatif Indra Tranggono, sastrawan dan budayawan yang tahun lalu mendapat Penghargaan Kebudayaan dari Pemda DIY, juga dipaparkan di buku Mider ing Rat ini. Salah satu cerpen Indra pernah memenangi juara pertama lomba cerpen Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dan cerpen-cerpennya 12 kali masuk Cerpen Pilihan Kompas (2002-2015). Di buku Mider ing Rat, esais produktif ini menceritakan proses kreatif menulis cerpen Wajah Itu Membayang di Piring Bubur.
Indra menegaskan kelahiran sebuah cerpen tidak berangkat dari ruang kosong. Saat menulis cerpen pun, Indra dengan tegas mengatakan memilih sudut pandang dan berpihak. Berpihak atas nilai dan realitas tertentu. Cerpen ia sebut sebagai media estetik untuk menyampaikan nilai, gagasan, dan sikap. Di dalam berkisah, Indra memilih sudut pandang dari pihak korban. Korban struktural maupun kultural karena posisinya yang lemah atau dilemahkan. (hal. 133)
Di dalam buku ini, tergambar jelas bagaimana para cerpenis selalu melakukan “perjalanan,” “terbang dari satu tempat ke tempat lain”, berkeliling dunia --dunia nyata maupun dunia batin—sebelum menghasilkan satu karya. Hasil pengelanaan baik fisik maupun batiniah itulah yang kemudian diendapkan, diperkaya, diberi makna, sudut pandang, dan diramu dengan pilihan diksi yang memikat. Editor pun dengan tepat memilih judul buku Mider ing Rat yang memiliki arti berkeliling dunia. Ilustrasi kinjeng dari jenis badempo (kinjeng paling besar) juga pas untuk menggambarkan secara simbolik “perjalanan” cerpenis berposes kreatif.
Dari paparan para cerpenis dalam buku ini, tergambar bagaimana seluk beluk proses penulisan cerpen. Mulai dari mendapatkan ide, melengkapinya dengan riset, studi pustaka, wawancara dengan berbagai pihak hingga studi lapangan. Membuktikan bahwa cerpen atau karya sastra pada umumnya, tidak datang begitu saja dari langit. Ada proses di dalamnya.
Mider ing Rat bukan buku pertama yang diterbitkan Balai Bahasa Yogyakarta yang berisi tentang proses kreatif penulisan. Sebelumnya sudah ada Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku: Proses Kreatif Sastrawan Yogyakarta (2016) dan Njajah Desa Milang Kori: Proses Kreatif Novelis Yogyakarta (2017). Buku-buku ini memiliki nilai penting tidak hanya menjadi media pembelajaran semata, melainkan juga menjadi dokumen rekam jejak proses kreatif sastrawan Yogyakarta.
Buku Mider ing Rat yang melengkapi kedua buku sebelumnya bisa menjawab pertanyaan yang selalu muncul seputar proses kreatif penulisan cerpen selama ini. Buku ini akan menjadi referensi bagi pembacanya sekaligus menjadi “panduan” untuk memulai menulis cerpen. Sayangnya buku ini tidak dijual untuk umum. Buku hanya dibagikan di perpustakaan serta instansi yang berkaitan dengan pengembangan dan pembinaan bahasa. Yang tertarik mesti menunggu ketersediaan di perpustakaan dalam waktu dekat. (Erwan Widyarto)