Pelajaran dari 100 Hari Presiden AS Donald Trump
PENGANTAR REDAKSI: Peristiwa internasional kini tak bisa diabaikan begitu saja. Ia bisa berpengaruh besar terhadap bangsa kita Indonesia. Karena itu, sudah saatnya kita lebih sensitif untuk membaca berbagai fenomena di luar negeri dalam perspektif yang lebih dalam. Karena itu, mulai hari ini, ngopibareng.id secara berkala menurunkan Catatan Internasional Ahmad Cholish Hamzah. Alumnus University of London dan Universitas Airlangga Surabaya ini 25 tahun bekerja sebagai Political and Economict Spesialist di Konsulat Jenderal AS Surabaya. Kini, ia menjadi dosen STIE Perbanas, STESIA, dan Wakil Rektor Universitas Sunan Giri (UNSURI). Selamat mengikuti.
PARA politisi maupun pemerintahan di berbagai negara di dunia dibikin terbelalak dengan perubahan sikap Presiden AS Donald Trump. Banyak sekali ucapan business tycoon dan publik figur TV AS itu telah berubah 180 derajat dari pernyataan politik sebelumnya.
Misalnya, pendapatnya yang mengatakan bahwa AS harus menarik diri dari NATO – pakta militer Eropa Barat yang dianggapanya sudah “Obsolete” atau kuno atau sudah usang. Tentang keinginan dirinya mendekat kepada Rusia dan kritikannya tentang tidak perlunya organisasi Masyarakat Eropa atau EU.
Dalam kampanyenya sebelum menjadi Presiden AS, Trump juga mengekspresikan pendapatnya secara terbuka soal perdagangan internasional. Amerika mengalami kekalahan bertahun-tahun dan menyebutnya Perjanjian Perdagangan Bebas dengan Canada dan Mexico atau NAFTA sebagai “Perjanjian yang Paling Parah”. Juga rancangan AS untuk menguasai perdagangan global TPP (Trans-Pasific Partnership) yang dirancang Presiden AS terdahulu sebagai a horrible deal.
Dengan Cina dan Mexico pun Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif yang tinggi atas barang-barang negara-negara itu kalau masuk pasar Amerika. Dia juga menuduh Cina sebagai manipulator mata uang atau a currency manipulator.
Sikap Trump tentang America First dianggap oleh negara-negara lain sebagai sikap proteksionisme yang berlebihan, padahal selama ini Amerika di anggap sebagai pendiri sikap perdagangan bebas dan sering mengkritik bahkan “marah” apabila negara-negara partner dagang Amerika mengetrapkan sikap proteksionisme.
Sekarang, setelah 100 hari menjadi Presiden AS, para politisi dan pemerintahan negara-negara di Eropa, Asia, Amerika Latin dan Australia masih saja “kebingungan” dengan sikap Donald Trump. Misalnya, Trump mengirim anaknya Ivanka Trump untuk bertemu secara resmi pemimpin Jerman Angela Merkel di Berlin pada tanggal 25 April, 20017 lalu. Bahkan di media AS sendiri banyak kritikan dan pertanyaan apakah Ivanka itu mewakili negara atau urusan pribadi.
Baru-baru ini, dalam krisis nuklir dengan Korea Utara AS mengirimkan sistim anti rudal balistik ke sekutunya Korea Selatan THAAD. Tapi Korea Selatan diharuskan membayar system itu sebesar USD 1 milyar. Tentu saja sekutunya itu protes karena dalam perjanjian pertahanan antara AS dan Korea Selatan, negara Korsel tidak perlu mambayar bantuan pertahanan dari AS alias gratis.
Namun sikap-sikap Trump seperti itu tiba-tiba saja berbalik begitu saja akhir-akhir ini. Dia memuji sikap NATO yang menaikkan anggaran belanja pertahanannya dengan menyebut NATO bukan lagi organisasi yang usang. Trump juga tiba-tiba tanpa konsultasi dengan sekutu-sekutunya memerintahkan Angkatan Bersenjata AS mengebom Syria sekutu dekatnya Rusia. Padahal, sebelumnya dia memuji-muji Vladimir Putin pemimpin Rusia. Donald Trump juga tiba-tiba berbalik arah kepada Cina dengan “bermanis-manis” ketika bertemu dengan Pemimpin Cina di Gedung Putih.
Indonesia sepertinya harus mengamati secara serius perubahan sikap Presiden AS ini. Sebab, selama ini, AS merupakan mitra dagang yang baik. Juga menjadi andalan tujuan ekspor Indonesia. Perlu diamati apakah kebijakan luar negeri Trump ini karena didorong personality dia atau hanya kebijakan yang ad hoc tergantung pada situasinya? Karena itu AS selalu mengirim mixed signals atau sinyal yang membingungkan keseluruh dunia.
Sudah saatnya Indonesia melakukan diversifikasi tujuan ekspor. Sehingga tidak hanya tergantung pada satu dua negara yang salah satunya Amerika Serikat. Indonesia harus tetap menjaga politik luar negeri yang bebas aktif yang diamanatkan UUD. Dengan demikian tidak terombang ambing dengan permainan politik atau poitical game negara lain yang sering kali berubah tanpa diduga. *)
Advertisement