Pekerjaan Rumah Bahasa dan Sastra Jawa
Oleh: Yusuf Susilo Hartono
Sebagai bahasa komunikasi dan bahasa ekspresi, bahasa dan sastra Jawa masih banyak pekerjaan rumahnya, dalam konteks kebangsaan, kenegaraan dan kebudayaan Indonesia.
Di antaranya, bahasa Jawa dalam hubungan dengan otonomi daerah. Sastra Jawa gagrak anyar, yang sudah lama tidak anyar lagi -- kalau tidak boleh disebut sudah amoh -- membutuhkan penguatan ekosistem, komitmen dan terobosan baru.
Bahasa Jawa dan Otonomi Daerah
Bahasa Jawa adalah bahasa daerah. Dia sebagai salah satu "bahasa Ibu" di Tanah Air yang turut melahirkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Pada saat Kongres Pemuda 1928, bahasa Jawa tidak ngotot menjadi bahasa nasional, dan memilih memberi jalan lapang pada bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Meskipun dalam perkembangannya kemudian bahasa Jawa turut mewarnai kamus peristilahan bahasa Indonesia mutakhir. Misalnya pada era Jokowi, salah satu kata bahasa Jawa yang paling populer diserap dalam bahasa Indonesia, adalah "cawe-cawe".
Dalam diskusi sastra Meja Panjang di Pusat Dokumentasi HB Jassin beberapa waktu yang lalu, saya "berspekulasi" mengatakan bahwa dengan memberikan jalan lapang bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, sejatinya juga memberi jalan lempang bagi Islam. Sebab bahasa Melayu, lema-lemanya berakar kuat dari Islam, dalam hal ini bahasa Arab. Sedangkan bahasa Jawa, berakar dari Sanskerta (Hindu). Mohon maaf, spekulasi ini sampai sekarang masih terus "muter-muter" di kapala dan belum final.
Yang menarik, bahasa Jawa sebagai bahasa daerah, justru tidak menjadi mahkota bagi berbagai daerah di Jawa (Tengah, Timur, DIY) yang penuturnya mayoritas berbahasa Jawa. Dalam konteks otonomi daerah -- pasca-Orde baru yang sentralistik -- fokusnya hanya tertuju pada wilayah dan penduduk, tapi tidak memberikan otonomi pada bahasa daerahnya. Padahal seru lho, kalau dalam Sidang di DPRD Surabaya, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Solo, Banyumas, misalnya, berlangsung dengan bahasa Jawa. Bahkan daerah-daerah lain di Jawa maupun Luar Jawa, bersidang dengan bahasa daerahnya masing-masing. Sehingga bahasa-bahasa daerah bakal menemukan momentumnya untuk eksis, dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan; baik di bidang politik, ekonomi, industri, iptek, sosial, agama, kebudayaan, dll.
Dengan memasung bahasa daerah di daerahnya sendiri, pada era otonomi ini,
tanda bahwa rezim bahasa Indonesia terus saja berpikir sempit dan picik. Bahkan dibayangi ketakutan bahwa bahasa daerah berpotensi memecah belah.
Pada hal kita sudah sepakat dengan kesatuan dalam berberagaman, Bhinneka Tunggal Ika, akan tetapi tindakan kita mengingkarinya. Jangan disalahkan bila sikap demikian mengundang kecurigaan, rezim bahasa Indonesia, tidak ingin bahasa daerah punya marwah, biar mati pelan-pelan. Ataupun kalau hidup hanya untuk bahasa jagongan, kendurian, seni merayu bulan.
Pada hal, dalam konteks Sumpah Pemuda, di sana tercantum jelas bahwa "Menjunjung bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia". Bukan berbahasa satu bahasa Indonesia. Yang ditekankan dengan satu-satu itu adalah, bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia. Celakanya pemerintah pusat sendiri, dalam setiap peringatan Sumpah Pemuda seringkali mengatakan "Bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia".
Penguatan Ekosistem Sastra Jawa
Menyangkut pekerjaan rumah sastra Jawa, yang paling mendesak adalah penguatan ekosistem, komitmen dan terobosan baru. Perlu kita sadari bersama bahwa istilah Sastra Jawa Modern sudah tidak cocok lagi. Sastra Jawa hari ini adalah sastra Jawa "kontemporer". Tolong para akademisi carikan istilah padanan 'kontemporer" ini apa yang pas. Praktik berkarya, mempublikasikan karya, dan mengapresiasi karya sastra, bukankah hari ini sudah berbeda jauh dengan era Orde Baru, Orde Lama apalagi era penjajahan. Hari ini, sastra Jawa berada di tengah era yang belum pernah ada sebelumnya. Dari media massa sudah berpindah ke media sosial yang dikendalikan internet, aplikasi dan kecerdasan buatan. Sehingga membutuhkan penyikapan yang berbeda, agar sastrawan dan karyanya tidak terderupsi, sehingga tetap bisa eksis menjadi saksi sesuai dengan semangat jamannya (zeitgeist). Untuk itu, kita tidak bisa jalan sendiri, dan memerlukan kolaborasi lintas bidang.
Masalahnya sekaang siapa yang mau berkorban menjadi "dirigen", agar lagu "Hallo-hallo sastra Jawa" sigrak menggema, mulai dari rumah-rumah pengarah, sanggar-sanggar/komunitas-komunitas sastra di berbagai pelosok hingga kota metropolitan, kampus-kampus bahasa dan sastra Jawa, Kantor-kantor Dinas Kebudayaan, Balai-balai Bahasa, kantor-kator redaksi media sastra Jawa, pengamat sastra Jawa di dalam hingga luar negeri, konten kreator bahasa dan sastra Jawa, hingga pecinta-pecinta sastra daerah dimana saja berada, lembaga-lembaga pendanaan seni budaya, philantrop-philantrop, relawan-relawan sastra dan budaya, dan lain-lain.
Apakah OPSJ (Organisasi Pengarang Sastra Jawa) bisa menjadi "dirigen ideal" dalam penguatan ekosistem ini? Oh sayang, OPSJ kabarnya sudah lama vakum, dan perlu direvitalisasi. Lalu siapa dong? Apakah bisa formatur, yang terdiri dari berbagai unsur: perguruan tinggi, media, komunitas, birokrat, dll. Dengan satu komitmen untuk menguatkan ekosistem, agar bisa menghasilkan berbagai terobosan baru dalam menjawab tantangan bahasa dan sastra jawa, baik yang bersifat praktis, teoretis, sosiologis, teknologis, hingga filosofis.
Bertepatan dengan Temu Sastrawan Jawa (Tetrawara 2024) yang digelar oleh Sanggar Sastra Triwida Tulungagung di Blitar, 28-29 September 2024, semoga masalah ini bisa turut dibicarakan. Meskipun tidak masuk dalam tema, maupun sub-tema pertemuan. Mumpung, para pemangku sastra Jawa dari berbagai daerah/kota, bahkan manca negara, hadir secara luring. Insya Allah dari Jakarta saya akan naik kereta api menuju Blitar, untuk bisa urun rembug dalam berbagai sesi yang telah disusun. Sayang seusai pertemuan, panitia tidak mengagendakan ziarah ke makam Bapak Proklamator dan Presiden RI ke-1 Bung Karno. Padahal saat ini kebudayaan Jawa, khususnya bahasa dan sastra, butuh Bung Karno - Bung Karno kecil untuk merampungkan pekerjaan rumah yang seabreg. Bahkan memerdekaan kebudayaan Jawa, khususnya bahasa dan sastra.
*) Penulis adalah Penerima Hadiah Sastra Rancage 2012, dan salah satu pendiri Sanggar Sastra PSJB.