Pekerja Migran, antara Corona dan Penjaga Ekonomi Indonesia
Kelompok pekerja migran Kabupaten Batang, Jawa Tengah mengirim pesan penting ke bupatinya. Surat terbuka lewat media sosial, beberapa waktu lalu. Minta dikirimi masker.
Alasan utama, menyebarnya virus Corona dari Wuhan, China. Membuat kepanikan melanda. Imbasnya, harga masker juga kertas tisu toilet melonjak tinggi.
Nur Fayati, yang sedang mencari peruntungan di Hongkong, membagi info penting. "Masker isi 50 berharga $498 dan 10 lembar harga $289," jelasnya. Padahal masker itu produksi Indonesia.
Tentu saja jika pendapatan habis untuk membeli masker, ini jadi urusan serius. Karena tak ada lagi uang yang bisa dikirim ke tanah air. Indonesia juga sangat butuh kiriman uang itu.
Pasalnya, virus Corona menambah ketidakpastian China. Setelah belitan perang dagang dengan Amerika Serikat, hantaman virus itu membuat ekonomi mereka dilanda beban berat. Sebenarnya, tak cuma China.
Negara-negara yang bergantung pada transaksi dagang dengan negara panda itu, juga merasakan imbasnya. Termasuk negaranya Presiden Joko Widodo. Apalagi beliau berjanji, negaranya akan meraih pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen.
Itu masih ditambah target defisit APBN nol persen. Alias ngga mau ngutang lagi. Tentu saja, target ekonomi ini, harus disambut baik. Apalagi yang punya agenda politik.
Setahun tidak tercapai, ya ngalamat reshuffle kabinet. Presiden Jokowi harus mengganti pembantu-pembantu yang tak sigap menghadapi tuntutan janji politiknya. Senyampang itu, bagi mereka yang pengen jadi menteri bisa bersiap.
Kondisi ekonomi global yang tanpa kepastian ini, butuh keteguhan sikap. Secara teori ekonomi makro, senjata utama Pak Jokowi cuma dua. Naiknya investasi langsung dari luar negeri, juga tidak ada uang ke luar.
Untuk investasi yang dibutuhkan juga sangat besar. Konon, uang sekira lebih dari 400 triliun pertahun. Kalau sekarang ada beragam usulan deregulasi, ya karena target itu.
Membuat Indonesia menarik untuk menanam uang dibanding negara lainnya. Kalau bisa, menarik uang sebanyak-banyaknya. Bagi Menko Airlangga Hartarto Dan Menko Luhut Pandjaitan, pekerjaan ini butuh kerja keras.
Di sisi lain, Pak Airlangga mahfum, masih ada orang yang selalu mengincar posisi Ketua Umum Partai Golkar. Siapa lagi kalau bukan Ketua MPR, Bambang Soesatyo. Selain itu, ada harapan yang lebih tinggi.
Pasca 2024, akan ada suksesi pemimpin nasional. Boleh dong, sebagai ketua partai turut dalam kompetisi itu. Jadi, satu kayuh dua pulau terlampaui.
Selain terus menarik investasi langsung, tentu menjaga tak ada impar-impor lagi. Baik itu komoditas, seperti Bahan Bakar Minyak, crude oil (minyak mentah), hingga impor jasa.
Impor jasa adalah aktifitas uang keluar negeri, karena urusan jasa kesehatan atau pendidikan.
Jadi saya kira, urusan masuknya Universitas Monash Australia ke Indonesia karena hal ini. Ada investasi uang masuk juga agar orang tak kuliah di luar negeri. Konon, uang orang Indonesia yang keluar karena urusan bayar-bayar pendidikan juga sangat besar.
Semua dilakukan demi memperkuat cadangan devisa negara. Urusan investasi dan strategi impar-impor itu sudah banyak ahlinya. Namun, sekali lagi, dengan kondisi global yang gonjang-ganjing ini, butuh leadership kuat.
Oh ya, salah satu penguatan fundamental atas devisa itu, salah satunya ya, dari para pekerja migran itu. Jika gaji mereka diusahakan naik, maka otomatis uang yang masuk ke Indonesia akan naik.
Bank Dunia melaporkan, pekerja migran nilainya mendekati 10 persen dari total angkatan kerja Indonesia. Laporan tahun 2017, kontribusi kaum atas perekonomian Indonesia terhitung bear. Pada 2016 saja, mereka mengirim remitansi sebesar 8,9 miliar dollar AS atau Rp 118 triliun lebih.
Tentu saja, tahun 2019 lalu angka pengiriman uang ini bisa makin besar. Yang perlu dilakukan pemerintah, menemukan cara, agar para pekerja ini bisa terus mendapatkan gaji yang layak.
Jika menenggok dari data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BN2PTKI), sepanjang 2014 - Maret 2019, kuantitas pekerja migran menembus angka 1.598.522 orang. Angka yang sangat tinggi.
Mereka yang bekerja di sektor formal mencapai 836.329 orang, sekira 52,32 persen. Sedangkan sektor informal sebanyak 762.193 orang, atau 47,68 persen.
Di beberapa lokasi, para pekerja ini mendapatkan gaji lumayan. Salah satunya di Korea Selatan. Walau sebagian besar berpendidikan SMP, mereka terserap di sektor manufaktur dan perikanan.
BNP2TKI mencatat gaji bersih di sana bisa mencapai Rp21 juta perbulan. Bahkan Ada yang menembus Rp30 juta perbulan. Tapi tak semua tempat seperti di Korea Selatan.
Mempersiapkan tenaga kerja yang handal, tentu lebih gampang dibanding menarik investasi. Semuanya dalam kontrol kita. Ada penguatan kurikulum, penyesuaian dengan kebutuhan negara tujuan, juga kemampuan bahasa.
Presiden Jokowi juga punya program kampanye: Kartu Pra Kerja. Kabarnya akan dirilis tengah tahun ini. Tentu ini juga berguna bagi penguatan kapasitas tenaga kerja lokal.
Namun, perlu dipertimbangkan penguatan kapasitas bagi para pekerja migran. Dengan kemampuan dan keahlian baru, akan tercipta banyak kesempatan baru. Pekerjaan baru yang mengantarkan pada pendapatan baru.
Misalnya memberikan kesempatan mereka untuk mengikuti Program Kejar Paket buat mereka atau kuliah terbuka. Tentu saja, pada titik ini, butuh dukungan kementerian lainnya. Baik itu Kementerian Luar Negeri, melalui kedutaaan besar juga Kementerian Pendidikan.
Atau akan lebih baik lagi, bila melibatkan para buruh migran itu. Program keahlian apa yang mereka butuhkan. Dengan dinamika teknologi informasi yang terjadi, sudah pasti ada perubahan profesi.
Yang dibutuhkan tentu sikap kuat untuk beradaptasi. Perubahan yang mengantarkan pada kebaikan. Baik buat para pekerjanya, baik buat keluarganya, juga baik buat negara.
Ajar Edi, kolomnis Ujar Ajar