Pekan Duka
Pekan kemarin menjadi pekan penuh duka. Kabar kematian datang bersusulan. Dari kawan maupun handai taulan.
Sampai-sampai beberapa teman berkomentar: "Tiap hari statusnya kok kabar duka terus?," kata mereka.
Saya memang selalu menulis kabar duka di akun media sosial saya. Sebagai simpati dan bagian cara saya berdoa.
Ada dua kawan yang secara berurutan dipanggil Sang Khaliq. Dicky Subagio dan Hadi Mustofa Djuraid. Keduanya sesama wartawan.
Sejak pandemi Covid-19, kabar duka itu makin sering datang bersusulan. Meski tidak semua karena virus Corona.
Dicky dan Hadi meninggal bukan karena wabah yang sedang mewabah ke seluruh dunia itu. Dicky wartawan yang lebih senior dari saya. Hadi lebih muda.
Sehari sebelumnya, seorang kawan yang lagi naik daun karirnya di Pemprov Jatim juga meninggal. Dia Kepala Bappeda Jatim Rudy Irmawan Yulianto. Pemilik Kampung Jawi.
Saya tidak terlalu dekat dengan Hadi. Yang meninggal saat sedang bersepeda. Di jalan akses UI Depok. Tanpa sakit dan sedang olah raga.
Yang lebih kenal dekat dengan kedua kakaknya: Husnun Djuraid dan Dhiman Abror Djuraid.
Husnun meninggal tahun lalu. Juga sedang olah raga. Saat mengikuti Surabaya Marathon. Mendadak juga.
Alhamdulillah, Abror masih segar. Semoga terus diberi sehat dan umur panjang. Abror penggemar olah raga bola.
Dari tiga bersaudara yang semuanya wartawan itu, Abror yang paling dekat. Selama 14 tahun saya pernah bekerja bersama.
Bahkan, Abror lah yang merekrut saya sebagai wartawan. Saat ia menjadi kepala biro Jawa Pos di Jogjakarta.
Mulai dengan wartawan pocokan alias freelance. Bertugas mencari artikel dari para ilmuwan dan budayawan Jogja.
Juga membantu menulis reportase. Mulai dari menggunakan kode dia sampai dengan kode sendiri. Sejak pakai inisial Ror di setiap akhir berita hingga pakai inisial Rif.
Sebagai mahasiswa yang abadi, Abror menyelamatkan saya dari luntang-lantung. Ikut mewujudkan cita-cita saya menjadi seorang jurnalis.
Sebenarnya, hampir setiap mahasiswa Jurusan Komunikasi UGM saat itu hanya dua media yang dituju kalau ingin jadi wartawan. Kompas dan Tempo.
Namun, karena saya tidak lulus-lulus, maka tak mungkin melamar ke kedua media itu. Harus sudah menjadi sarjana. Jawa Pos tak mengharuskan sudah sarjana.
Saya pun berterus terang saat ditanya Dahlan Iskan. "Dulu cita-citammu jadi wartawan apa Rif?," tanyanya suatu ketika. "Kompas," jawab saya tanpa sungkan.
Tapi begitulah hidup. Kalau di Kompas dan Tempo, barangkali karir saya tidak secepat di Jawa Pos yang memang sedang tumbuh cepat di bawah kepemimpinan Dahlan Iskan.
Hampir setiap dua tahun, karir saya naik. Mulai jadi redaktur, kepala biro, redaktur pelaksana. Bekerja di perusahaan yang sedang tumbuh juga mengasyikkan. Ada persaingan dan tantangan.
Setelah Abror pulang dari Sidney, di Surabaya kembali menjadi satu tim. Dalam kepemimpinan di redaksi koran yang berkembang dari daerah ini. Akhirnya, saya pun menggantikan Abror menjadi pemimpin redaksi setelah ia naik menjadi direktur.
Dengan kakaknya, Husnun N Djuraid juga lebih mengenal dekat ketimbang Hadi Mustofa. Sebab, ia sama-sama pernah menjadi wartawan Jawa Pos di DIY-Jateng. Sebelum ia pindah ke Malang Post.
Hadi Mustofa yang pernah berkarir di Republika ini lebih banyak tinggal di Jakarta. Pertemuan terakhir saya saat dia menjadi Stafsus Menteri ESDM Igantius Jonan. Saat saya mengurus pekerjaan yang terkait kementerian itu.
Trio wartawan saudara kandung itu tinggal satu: Dhiman Abror yang juga suka olah raga. Semoga kawan saya yang begitu berjasa dalam hidup saya ini diberi umur panjang.
Makin banyaknya kabar duka berseliweran di beranda jejaring sosial kita menunjukkan usia ini sudah tua. Bukan lagi tergolong usia muda tang masih berharap panjang usia.
Namun, pandemi ini juga menambah deret mereka yang mendahului kita. Ikut seleksi alam yang dipicu virus yang berkembang kali pertama dari Wuhan-China.
Ya hidup ini sebenarnya tinggal menunggu antrean. Tidak tahu kapan kita juga dipanggil-Nya menyusul sejumlah kawan.
Advertisement