Pedoman Praksis Pancasila dalam Demokrasi
Kalau ada yang menanyakan tentang demokrasi apa yang kita yang laksanakan sejak Reformasi 1999, jawabannya adalah suatu demokrasi yang sesuai UUD (hasil amandemen) khususnya pasal 28 huruf A sampai huruf J. Pada hal pasal 28 huruf A sampai I adalah copy paste HAM Universal, suatu kebebasan yang berdasarkan pada nilai nilai Barat atau Liberalisme.
Liberalisme, Belum Merefleksikan Nilai Pancasila
Pasal 28 J memberikan ruang kepada kita untuk memasukkan nilai budaya nasional ke dalam praktik HAM dan Demokrasi kita, sesuai Sila ke-4 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan”.
Setahu saya, pasal 28 J itu belum kita rumuskan bersama menjadi rambu-rambu yang menjadi garis kuning atau merah dalam praksis sehari-hari. Jadi demokrasi kita lebih berorientasi ke Liberalisme dan belum merefleksikan nilai Pancasila secara maksimal.
Bung Karno pada 1951 menciptakan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai bingkai persatuan dan sekaligus aturan main dalam berdemokrasi, dimana kepentingan golongan dan pribadi tidak mengalahkan kepentingan bersama. Demikian juga lahirnya konsep Wawasan Nusantara yang juga merupakan konsep yang lahir dari kearifan lokal. Keduanya suatu nilai perekat bangsa dan mencerminkan karakter bangsa.
P4 bila dicermati substansinya masih relevan dengan situasi saat ini terutama ketika tekanan nilai global kencang berhembus menerpa kepribadian bangsa.
Memungut Nilai Relevansi P4
Orde Baru juga melahirkan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dimaksudkan sebagai praksis Pancasila atau demokrasi dan dalam pergaulan sehari-hari. Kita boleh tidak sepakat dengan semangat otoritanisme dan metode sosialisasinya pada masa lalu yang indoktrinatif, tetapi kalau dicermati substansinya masih relevan dengan situasi saat ini terutama ketika tekanan nilai global kencang berhembus menerpa kepribadian bangsa.
Pengalaman Test Wawasan Kebangsaan oleh KPK memberi gambaran bahwa kita kesulitan dalam menentukan siapa yang Pancasilais dan siapa yang tidak. Terjadinya kerancuan itu karena kita kehilangan arah dan pedoman, bingung tidak bisa menyerasikan nilai universal dengan nilai yang bersumber pada kearifan lokal.
Apakah tidak saatnya dunia kampus dan BPIP memikirkan panduan praksis Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ?? Bahan mentahnya sudah tersedia dari warisan masa lalu dan mengambil hal-hal baru dengan mencermati nilai-nilai baru yang relevan untuk kemajuan bangsa.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial Politik, Penulis Buku "Negara Pancasila", tinggal di Jakarta.