Pedofil dan Poligami Sinetron Zahra, Ini Kata Pemain dan KPI
Dunia maya digegerkan dengan tagar (#) Zahra sejak Selasa, 1 Juni 2021. Bukan tanpa sebab, sinetron yang tayang di Indosiar itu memicu perdebatan para netizen. Media sosial Twitter dan kanal Youtube Indosiar banjir kecaman para netizen.
Mereka menuding sinetron Zahra mengkampanyekan poligami dan pedofil. Sebab, dalam kehidupan nyata pemeran Zahra masih berusia 14 tahun. Sedangkan, Pak Tirta yang bermain sebagai suami Zahra berusia 39 tahun. Terlebih, adegan di dalam sinetron tersebut banyak mempertontonkan scene suami istri yang tak layak dilihat. Namun, pendapat yang berbeda dilontarkan para pemainnya.
Pertontonkan Dinamika Poligami
Menurut Panji Saputra, pemeran Pak Tirta alias suami Zahra, sinteron yang dibintanginya itu tak bermaksud untuk mengkampanyekan poligami. Tetapi cerita berfokus pada dominasi laki-laki dalam sebuah rumah tangga. Sehingga, dalam Zahra yang dikisahkan adalah dinamika yang mungkin terjadi dalam kehidupan berpoligami.
“Peran saya di sini menyebalkan sekali. Alurnya akan naik terus. Maklum, diceritakan saya berpoligami dengan tiga istri. Menjadi Tirta ini nyebelinnya berkali-kali lipat jika dibandingkan dengan peran sebelumnya,” kata Panji dikutip dari tabloid bintang.com.
Senada dengan Panji, Zora Vidyanata (pemeran Ratu, istri pertama Pak Tirta) mengaku hal serupa. “Di sinetron ini poligami tidak hanya harus adil, tapi banyak dinamikanya. Rumah tangga normal saja tidak gampang, apalagi kalau dipoligami,” terangnya.
Pernyataan Zora dan Panji didukung oleh Metta Permadi, pemeran Putri yang merupakan istri kedua Pak Tirta. Metta menyebut, menjadi istri yang dipoligami itu tidak mudah lantaran banyak dinamika yang harus dilalui.
“Awalnya ini saya kesusahan, tapi intinya ceritanya untuk menunjukkan dinamika keluarga yang berpoligami. Banyak hari yang terluka, ada istri lainnya yang tertindas,” katanya.
Komunitas Film Independen Surabaya Desak KPI Tegas
Berbeda dengan pandangan para pemain, Komunitas Independen Film Surabaya (INFIS) menganggap Zahra mengglorifikasi kekerasan seksual dan perlindungan anak. INFIS berharap Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Lembaga Sensor Film (LSF) bertindak tegas. Selain itu, menyarankan pihak Indosiar menarik sinetron Zahra atau mengganti alur ceritanya.
“KPI, KPAI, dan LSF harus tegas karena di televisi semua orang bisa nonton. Terlebih, agar masalah ini tidak semakin meruncing. Ceritanya harus diubah, pemain yang usianya 14 tahun bisa dipindahkan ke judul yang sesuai dengan usianya,” kata Fauzan Abdillah, Ketua INFIS.
KPI Panggil Indosiar
Menanggapi laporan netizen, hari ini, Rabu 2 Juni 2021, KPI memanggil pihak Indosiar. KPI sendiri telah mempelajari materi yang terkandung dalam tayangan sinetron Zahra. KPI lantas memutuskan menjatuhi sanksi berat kepada pihak Indosiar dan rumah produksi Mega Kreasi Film. Zahra sendiri sementara waktu tidak diperbolehkan tayang di televisi.
Selain dari netizen, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks) juga mengaduan laporan yang sama. Pihak Kompaks menganggap Zahra menunjukkan unsur kekerasan seksual. Salah satunya pernikahan anak yang dilakukan di bawah umur. Pemain Zahra sendiri di dunia nyata berusia 14 tahun dipasangkan dengan pria berusia 39 tahun.(kmp/tem/tb)