Peci Kusam Sang Santri, Ini Kisahnya
Dalam kehidupan pesantren, guyonan sesama santri menjadi hal biasa. Bahkan tak jarang pula, diantara santri saling 'ngerjain' temannya dengan maksud bercanda.
Suatu hari di sebuah warung kopi sebelah pesantren, beberapa santri menikmati kopi dan sarapan pagi. Kang Mamat, seorang santri yang lama tidak ke warung, datang dengan penampilan memakai sarung dan peci butut agak kusam.
Setelah pesan wedang kopi dan nasi pecel, kang Mamat duduk bersama santri lainnya. Mereka saling ngobrol dan menikmati sajiannya. Obrolannya pun ringan mulai dari soal kegiatan santri sehari-hari sampai guyonan yang menyegarkan.
"Kang Mamat, pecimu kok antik," tiba-tiba Agus nyeletuk.
"Iya tho, meskipun terlihat kusam, peci ini sangat berharga bagiku," Sahut Mamat.
"Peci kumut-kumut begitu, emange kenapa kang?," ucap santri lainnya.
"Ya gak kenapa-kenapa sih, kalau kamu minat silakan beli 200 rbu,!" jawab mamat berkelakar.
"Walah, peci begitu 200 ribu, siapa yang mau," tanya Agus agak jengkel.
Tanpa menjawab, kang Mamat mengeluarkan uang yang terselip dalam pecinya untuk membayar kopi dan nasi uduk.
"Seandainya kamu tadi mau bayar 200 ribu, kamu masih untung 100 ribu. Karena ini ada 300 ribu hehehehe," kata kang mamat sambil menunjukkan uang dalam lipatan pecinya.
Agus dan santri lain yang sedang jajan di warung, hanya tersenyum sambil melongo melihat 'ulah' Mamat.
Memang, santri seringkali menjadikan peci sebagai dompet untuk menyimpan uang. Karena, Santri suka memakai sarung yang tidak ada sakunya. Dibalik lipatan peci tersimpan uang secara rapi dan aman. (adi/nuo)