Peci Habibie
“Selamat jalan Pak Habibie,” teriak seorang ibu di pinggiran Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta. Tangannya terus melambai. Suaranya melemah, ditimpali isak tangis.
Siang itu, Kamis, 12 September 2019, cuaca terik. Tapi, tak menyurutkan ratusan orang untuk tetap berdiri mematung. Menunggu lewatnya iring-iringan mobil jenazah yang membawa Pak Bacharuddin Jusuf Habibie.
Saat mobil jenazah berwarna putih berlogo Garnisun Tetap Jakarta itu lewat, sebagian ada yang memberi hormat. Ada yang menundukkan kepala. Tak mau kalah, ada anak kecil yang juga berteriak, “Selamat jalan profesor”.
Mobil itu akan berhenti di TMP Kalibata. Jenazah akan dimakamkan di samping pusaran Ibu Ainun, istri kinasihnya. Cerita cinta Pak Habibie dengan Ibu Hasri Ainun, adalah gambaran ideal cinta sejati.
Cerita dari mantan ajudannya, Pak TB Hasanuddin, membukakan mata kita. Hal yang terlihat sepele, tapi membuktikan betapa besar rasa cinta. Misalnya, Pak Habibie selalu makan olahan Ibu Ainun.
Pernah, rangkaian mobil kepresidenan, harus kembali ke rumah. Balik kanan, karena urusan segelas kopi. Rupanya, Pak Habibie kelupaan belum meminum kopi buatan Ibu Ainun.
“Ini ibumu yang buat. Saya harus menghormatinya. Dia sudah bangun pagi-pagi buatkan secangkir kopi,” kata Pak TB Hasanudin menirukan ucapan Pak Habibie.
Itu mengapa banyak ibu yang sangat menghormati Pak Habibie. Bisa jadi, itu harapan setiap perempuan atas pasangnya. Setia, penuh cinta, tulus, dan sangat menghormati istrinya.
Cerita cinta keduanya adalah inspirasi. Buku tentang Pak Habibie dan Ibu Ainun ludes dan dicetak ulang beberapa kali. Tak cuma itu, lihat saja, animo jutaan orang yang menonton film Habibie dan Ainun.
Tak heran, film yang dirilis tahun 2012 ini, masuk jajaran lima film Indonesia terlaris sepanjang masa. Romansa layar perak mereka menarik 4.583.641 penonton. Bahkan, MD Entertainment pun merilis sekuel film ini.
Film Rudy Habibie (Habibie & Ainun 2), akhirnya diluncurkan pada tahun 2016. Penontonnya tak sebanyak film pertama. Namun, sekuel ini berhasil membuat 2.010.072 orang mau ke bioskop.
Film-film dan buku itu seperti mengubah citra Pak Habibie. Dari teknokrat, politisi, dan pemikir berubah 360 derajat. Menjadi sosok personal yang penuh kasih sayang. Kisah cinta nan abadi.
Pak Habibie, Presiden Republik Indonesia ke tiga itu, mangkat pada 11 September 2019, selepas adzan Magrib. Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, menjadi saksi kepergian salah satu putra terbaik bangsa ini.
Semua tentu hafal dengan gerak matanya. Caranya berbicara. Hingga cara berjalannya. Semua melekat di benak. Reza Rahardian, yang sukses memerankan, juga dipuji banyak orang. Dia pun mendapatkan Piala Citra untuk aktingnya di film itu.
Saya pernah sekali bertemu beliau. Di sebuah hotel di Jakarta. Di sebuah acara loka karya.
Saat mau masuk ke mobil. Semua orang menunggunya takzim. Dengan posisi kedua tangan mengatup. Ngapurancang, kalau orang Jawa menyebutnya.
Wajah Pak Habibie penuh dengan senyum. Ditebar ke semua orang. Yang menarik, semua anggota Pasukan Pengawal Presiden (Paspampres) yang mengawalnya, mengenakan kopiah, atau peci.
“Kami mengikuti kegemaran Bapak,” ungkap salah satu anggota Paspampres. Wajah mereka juga ramah. Tak terlihat ketegangan. “Silahkan kalau mau foto sama Bapak. Beliau ramah.”
Peci memang identik dengan menteri paling terlama sepanjang masa ini. Baginya, sebagai seorang keturunan Makasar, adalah penting. Itu perlambang pria berilmu nan bijaksana.
Setidaknya, pesannya itu juga diberikannya kepada Pak Jusuf Kalla. Saat keduanya bertemu pada 12 Agustus 2013 lalu. Di Patra Kuningan, rumah pribadi Pak Habibie.
Awalnya, saat Pak JK hendak berganti pakaian, dia mengaku ada yang kurang. Pokok masalah, mantan Wapres Pak SBY ini, teringat kalau Pak Habibie juga berasal dari Makassar. Segeralah dia sambar peci.
“Tadi sebelum ambil baju, saya pakai kopiah dulu," kata Pak JK kepada wartawan. Mendengar hal itu, Pak Habibie lantas tersenyum. Segera dia timpali pernyataan itu.
“Sering saya juga menyaksikan beliau tidak pakai kopiah,” katanya. Tentu saja, pada pertemuan itu, dia pun mengirim pesan penting. Tentu tak jauh dari urusan penutup kepala itu.
“Kau jangan begitu, kalau di kampung kita (Makassar), orang tidak pakai kopiah di atas (umur) 60 itu dianggap tidak berbudaya," lanjutnya sambil tertawa.
Memang, peci punya sejarah panjang di sana. Bagi warga Bone, mereka mengenal songkok recca. Itulah penanda utama, pasukan Arung Palakka. Saat mereka berperang dengan pasukan Tana Toraja.
Awalnya, kopiah, peci, atau songkok dipakai para anrong guru. Mereka adalah para cerdik pandai, ulama yang menyebarkan Islam di Kerajaan Gowa. Kerja dakwah anrong guru juga menembus Kerajaan Bone.
Tentu saja, dengan beragam keilmuan dan pengalaman yang dipunya, Pak Habibie tak hanya seorang cendikiawan. Sosoknya komplit. Banyak pula yang menyebutnya negarawan.
Di usia senja, kepeduliannya kepada nasib bangsa masih tinggi. Beliau lebih memilih memberikan masukan kepada Presiden Joko Widodo secara personal. Tanpa mengkritik terbuka di media masa.
Peci bagi kesehariannya, jadi pelengkap nan sempurna. Pria yang pemberani, bijak, pintar, dan waskita. Dan tentu saja, sangat mencintai istrinya. Cinta yang terus dialirkan walau sang istri telah mendahului pergi.
Ibu Ainun mangkat pada 22 Mei 2010. Selama sembilan tahun ini, Pak Habibie membuktikan cintanya tak lekang. Tiap Jumat, selalu mengunjungi makam kekasih hatinya. Setiap saat mengiriminya dengan doa cinta.
"Mereka sekarang bisa bersatu dalam akhirat. Sesuatu hal yang didamba-dambakan bapak semenjak ibu pergi," kata Ilham Akbar Habibie, dalam upacara pemakaman, “Insya Allah mereka selamanya bersama berdua di sisi Allah.”
Ajar Edi, kolomnis “Ujar Ajar” di ngopibarengi.id
Advertisement