Pecel Semanggi, Nasibmu Kini
Pecel semanggi dikenal sebagai kuliner Surabaya. Tapi jangan harap bisa menemukan penjual pecel semanggi dengan gampang di Kota Surabaya. Apalagi menunggu penjual keliling lewat di depan rumah. Karena jumlah penjual pecel semanggi di Surabaya semakin langka.
Tapi, jika hasrat sudah tak terbendung untuk mencicip pecel semanggi, datang saja ke Jalan Alas Malang Surabaya. Lokasinya tak jauh dari Desa Kendung yang dikenal sebagai kawasan Kampung Semanggi. Lokasi ini masih tersisa beberapa penjual pecel semanggi yang masih mencoba untuk bertahan. Salah satunya adalah Suwati, 48 tahun.
Suwati sudah menekuni berjualan semanggi sejak tahun 2017 lalu. Dia mengaku jika berjualan pecel semanggi karena mengikuti jejak orang tuanya. Orang tuanya dulu juga berjualan semanggi.
Memulai aktivitas sejak subuh, Suwati mulai mengukus daun semanggi dan pelengkapnya, seperti kecambah dan kembang turi. Biasanya, dia dibantu oleh anak ketiganya.
"Kalau membuat bumbu pecelnya, biasanya saya membuat pada malam hari setelah salat Isya. Kalau kerupuknya saya beli mentah dan digoreng sendiri habis bikin bumbu pecelnya,” ujar Suwati di sela-sela melayani pembeli.
Tepat pada pukul 7 pagi Suwati pun siap untuk berjualan. Tak seperti penjual pecel semanggi lainnya yang identik digendong dan berjualan keliling, Suwati memilih menetap dengan gerobak dorongnya di Jalan Alas Malang.
“Setiap jam 7 pagi, saya siap-siap jualan pakai gerobak ini. Selanjutnya jam 8 pagi saya baru mulai berjualan di tempat ini sampai jam setengah 5 sore nanti," ujarnya.
Tapi, kalau pas hari libur, dia buka lebih pagi untuk menjaring pembeli. Biasanya, banyak warga yang berolah raga di hari libur, kemudian mampir beli semanggi untuk sarapan.
Dengan harga jual Rp 8 ribu per porsi, dalam sehari Suwati mengaku bisa menjual kurang lebih 30 porsi pecel semanggi. Namun angka penjualan tersebut tak pasti.
“Kalau hari biasa, saya dapat menjual semanggi kurang lebih 30 porsi. Tapi kalau hujan biasanya sepi kadang terjual 10 porsi ya bersyukur. Ketika hari Minggu atau tanggal merah itu yang ramai, bisa sampai 50 porsi semanggi,” ujar Suwati.
Pendapatan yang minim dari berjualan semanggi itu, membuat dia jualan kuliner lain yaitu pentol dan bakso. Lumayan, untuk menambah pemasukan selain dari penjualan pecel semanggi.
Suwati bercerita jika kadang dia didatangi oleh para influencer kuliner. Endorse dari para influencer itu diakui berpengaruh terhadap penjualannya.
Lain lagi dengan cerita Uul. Uul berjualan pecel semanggi di sekitar Masjid Agung Surabaya. Setiap harinya, biasanya dia membawa sayur semanggi dan sambal pecel sebanyak 5kg. Dari jumlah itu, dalam sehari jika habis terjual dia biasanya membawa pulang duit sebesar Rp550 ribu. Pendapatan itu masih bisa bertambah di akhir pekan. Karena di akhir pekan biasanya pengunjung sekitar Masjid Agung Surabaya lebih banyak.
Kata Uul berjualan pecel di sekitar Masjid Agung Surabaya harus 'cerdik' karena harus kucing-kucingan dengan Satpol PP. Satpol PP Surabaya biasanya menertibkan area sekitar Masjid Agung Surabaya karena ada ketentuan yang tidak memperbolehkan pedagang berjualan di atas jam 8 pagi.
“Kalau sudah di atas jam 8 saya sudah harus bersih-bersih. Tapi, kalo Satpol PP-nyasudah pergi baru saya balik buka lagi. Kalau dibilang, saya itu ndablek atau sulit dibilangin," ucap U’ul sembari tertawa.
U’ul mengaku, ia dan teman-teman penjual lainnya sudah diperingatkan untuk tidak jualan di sekitar area Masjid Agung Surabaya. Petugas juga sudah mengimbau agar pedagang berjualan dalam lapangan dekat Masjid Agung Surabaya. Namun U’ul ngotot berjualan di sekitar area Masjid Agung Surabaya. Dia enggan masuk dalam area yang sudah disediakan karena takut sepi pembeli.
“Sudah pernah ditawari untuk jualan di dalam mas, tapi saya ngeyel jualan di sini soalnya kalau jualan di dalam takut pelanggan gak ada yang tahu. Toh juga semanggi identik sama lesehan pinggir jalan seperti ini,” ucap U’ul.
Tantangan penjual pecel semanggi sebenarnya tak hanya sepi pembeli. Tapi juga soal ketersediaan bahan baku. Kebun-kebun semanggi di Surabaya sudah dibabat untuk dijadikan perumahan.
Penulis: Muhammad Okvianto P, Reynaldi Pranata (Magang)
Advertisement