PDIP: Yang Ji Bian Niao..!
Oleh: Eros Djarot
Pasti banyak yang bertanya: apa itu arti ‘Yang Ji Bian Niao’? Bahasa Mandarain ya? Iya, memang bahasa Mandarin. Terjemahan bebasnya: melihara anak ayam dari kecil, sudah besar jadi burung. Maka terbanglah sang burung meninggalkan kandang. Pepatah Cina kuno ini keluar dari salah satu peserta diskusi yang saya adakan bersama para pengusaha pribumi keturunan Tionghoa. Metafor ini muncul di tengah pembahasan seputar Power Game segi tiga antara Mega-Jokowi-Prabowo.
Sang pelontar pepatah menggunakan metafor nenek moyangnya, untuk menggambarkan bagaimana Jokowi pada saat dibukakan pintu rumah PDIP dan diberi tiket untuk maju sebagai Wali Kota Solo, Gubernur Jakarta, hingga etape mendapat tiket Presiden RI ke-7 pada putaran pertama Pilpres, 2014. Sepanjang proses perjalanan politiknya ini, Jokowi masih diibaratkan seperti seekor ayam kecil yang memang dipelihara, dibesarkan, dan dikuatkan agar menjadi ‘ayam jantan’ perkasa yang kelak bisa menjadi kebanggaan. Tentunya dengan harapan agar tetap berada di kandang bersama ‘ayam-ayam’ yang lain.
Harapan ini ternyata jauh panggang dari api. Sang ayam jantan diam-diam telah memperlebar dan memperbesar sayapnya hingga berhasil tampil kekar dan memukau. Perwujudannya telah berubah menjadi unggas yang tak lagi layak dikategorikan sebagai ayam peliharaan. Tampilan dan kehadirannya lebih menyerupai dan lebih layak di kategorikan sebagai jenis burung besar. Seperti elang ukuran besar bahkan burung garuda yang kuat dan besar. Ia telah berdiri tegak mandiri, perkasa, dan menjadi unggas pejantan yang diperebutkan.
Kemudian ia pun dengan bebas mengepakkan sayap, terbang ke luar kandang untuk bercengkerama dengan burung apa pun yang menjadi pilihannya. Ditinggalkannya induk semang dan kandang yang membesarkannya, dan memilih untuk bercengkerama dengan ‘Garuda kuning’ di kandang tetangga (Gerindra). Begitulah kira-kira peristiwa Power Game ala Jokowi ini dirangkum dalam peribahasa Cina kuno lewat pepatah: Yang Ji Bian Niao.
Saat diskusi, ada yang menawarkan persamaan dengan pepatah yang eksis dalam kamus bahasa Indonesia: risiko memelihara dan membesarkan anak macan….setelah besar, majikan yang membesarkannya pun dimangsanya ketika rasa lapar datang menggoda. Namun pepatah lokal ini masih kurang tepat mewakili peristiwa Power Game ala Jokowi. Karena Jokowi dilukiskan lebih sebagai burung Garuda (merah) perkasa yang terbang tinggi dan dengan eloknya menukik ke kandang Gerindra. Dan sang burung Garuda (merah) besar yang perkasa ini (sengaja) tidak memangsa induk semang yang membesarkannya. Ia tetap secara elegan meyakinkan semua yang menyaksikan dengan tetap bersuara sangat ramah dan santun kepada mereka…’’rumah dan kandangku tetap yang di sana lho…!’’.
Denial atau penyangkalan yang dilontarkan dengan suara lembut dan senyuman yang hangat ini, cukup berhasil mengecohkan sejumlah saksi mata, pengamat, dan para penjaga/penguasa kandang ayam (baca: kandang Banteng). Sebagian dari mereka masih tetap saja memberi sanjungan sebagai yang terbaik, terpercaya, dan penuh integritas. Sangat berbeda bagi mereka yang melihat dan mengikuti peristiwa demi peristiwa tidak hanya dengan mata biasa, tapi juga dengan pikiran dan mata batin. Ditambah dengan modal serenceng pengalaman yang dimiliki, mereka dapat membaca menganalisa dan menyimpulkan dengan lebih benar.
Sialnya, dengan adanya dua beda sudut pandang, persepsi, dan penilaian yang terjadi di ‘kandang ayam’ (baca: kandang Banteng), justru membuat ‘sang burung’ peselingkuh ini menjadi bertambah semakin besar dan perkasa. Padahal, dalam realita sesungguhnya, ia tak sebesar dan seperkasa burung Garuda yang seakan luar biasa kekuatannya. Mesin penggelembung citralah yang telah dengan sangat sukses lewat politik pencitraan menjadikan kehadiran ‘sang burung peselingkuh’ ini menjadi begitu gigantik, dahsyat, dan luar biasa sakti mandraguna. Citra itu sengaja ditanamkan dalam setiap benak di kepala massa pendukung fanatiknya.
Dengan menyodorkan ilustrasi panjang seperti gambaran di atas, barulah relevan dimunculkan pertanyaan; benarkah Jokowi colong playu meninggalkan kandang banteng dan beranjangsana ke kandang Garuda Gerindra? Bahkan lebih jauh lagi, merapat dan sembunyi di belakang layar mendukung Prabowo? Pertanyaan ini tentunya pas untuk dijawab dengan pertanyaan juga; apa masih perlu dipertanyakan? Semua indikasi ke arah mana kaki politik Jokowi melangkah, sudah sangat dengan mudah dapat dibaca.
Untuk memastikan, ikuti saja ke mana langkah organisasi Projo pimpinan Budi Arie, Menteri Kominfo, memberi dukungan politiknya. Begitu juga ke mana dukungan PSI diarahkan? Ke mana mereka berikan, ke situlah langkah politik Jokowi diayunkan. Karena kedua institusi politik tersebut, Projo dan PSI, merupakan institusi yang tegak lurus terhadap Jokowi. Ditambah lagi dengan eksebisi dukungan Budiman Sujatmiko yang bermetamorfosis dari Banteng merah menjadi Garuda Kuning. Selingkuh politik yang terpola, berbareng langkah, tertata berjamaah dan terarah ini, pastilah berbekal janji politik dan logistik yang mumpuni.
Namun demikian, kalau pun Jokowi lebih memilih Prabowo untuk dijadikan partner sekaligus pelindung masa depan politik diri dan dinastinya, sangat bisa dimengerti dan manusiawi. Untuk bernegosiasi dengan Ganjar, Jokowi terhantui oleh sosok Bu Ketum Mega yang sangat dominan sebagai penentu segalanya sekaligus penjaga pintu gerbang politik PDIP. Tidak semudah melakukan bargaining politik dengan Bos Garuda Kuning, Prabowo. Dia penentu segalanya sekaligus penjaga pintu gerbang politik Gerindra sepenuhnya.
Bila mendukung Ganjar dan menang, Jokowi akan tetap hadir hanya sebagai petugas partai, bawahan. Tentunya selama Megawati masih berkuasa sebagai Ketua Umum PDIP. Sementara bila Prabowo yang dijagokan dan menang, pintu terbuka bagi Jokowi untuk hadir sebagai partner pengelola kekuasaan yang ada di tangan Prabowo. Bahkan bisa menjadi pembuka jalan untuk kembali ke PDIP dengan lebih diposisikan tidak lagi sebagai petugas partai. Bahkan dengan kelihaian memainkan citra sebagai pelindung rakyat banteng sejati, bisa jadi kembalinya ke kandang Banteng, dengan bantuan Presiden Prabowo tentunya, bukan lagi sebagai petugas partai, tapi malah sebagai penguasa partai. Tentunya menunggu hingga hari di mana Megawati tak lagi hadir, atau berhalangan tetap.
Tapi, apa ya sudah terskenario sebegitu jauh? Saya pribadi tak bisa memastikan. Hanya bermodal renungan terhadap pepatah kuno Cina… ‘Yang Ji Bian Niao’, saya jadi terdorong untuk mengatakan, catatan sudah ada… sedangkan indikasinya, masih samar terbaca. Dan…, dalam politik ala yang begini ini, semua bisa terjadi. Kita tunggu saja..!
*Erros Djarot, budayawan dan politikus. (Dikutip seluruhnya dari GBN.top)\
Advertisement