PDIP Kembali Oposisi atau Rela Terasing dari Kekuasaan
Bandul politik mulai berubah. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pemenang Pemilu dua kali berturut-turut 2014-2019 dan 2019-2024 ini, harus mulai realistis dalam politik 2024 terakhir ini.
Ya, para politisi dan kader (PDIP) harus kerja keras menatap dunia politik tahun 2024. Hal itu harus dilakukan jika partai besutan Megawati Soekarnoputri ini, tidak benar-benar tersisih dan ditinggalkan pendukung dan mitra-mitra partai.
Meski menempatkan kader terbanyak dengan kursi 110 (18,97 persen) dari total 675 kursi di DPR RI sesuai hasil rekapitulasi nasional KPU RI, tak menjamin, PDIP jadi partai penguasa lagi. Kini, menjelang akhir dari pemerintahan Presiden Joko Widodo, para kadernya yang berada di kabinet Indonesia Maju, mulai tersingkirkan.
Tiga menteri dan satu wakil menteri di antaranya mewakili PDIP ikut direshuffle di akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta pada Senin 19 Agustus 2024.
Menteri yang diangkat dan direshuffle adalah, Bahlil Lahadalia jadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Kemudian Rosan Roeslani sebagai Menteri Investasi/Kepala BKPM, Supratman Andi Agtas sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Angga Raka Prabowo sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika. Sebagai catatan, Supratman adalah anggota DPR RI periode 2019-2024, menggantikan Yasonna Laoly, merupakan kader PDIP.
Meski demikian, PDIP masih menyisakan empat kadernya yang masih berada di Kabinet Indonesia Maju. Yaitu Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Koperasi Teten Masduki, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Azwar Anas dan Menteri Pemberdayaan Perempuan Bintang Puspayoga.
Tak hanya di kabinet, perebutan kekuasaan tepatnya di Pilkada, PDIP juga telah ditinggalkan mitra-mitra politiknya. Di Pilkada DKI Jakarta misalnya, partai berlambang banteng moncong putih ini, diprediksi tidak bisa mengusung calonnya. Pencalonan Ridwan-Kamil Suswono yng diusung Koalisi Indonesia Majuk (KIM) plus (Gerindra, Golkar, PAN, PPP, Demokrat, PKS, Nasdem dan PKB), membuat pasangan ini berpotensi melawan kotak kosong atau bertarung dengan calon independen.
Sementara PDIP harus realistis dengan Pilkada DKI Jakarta. Itu karena partai dengan dominan warna merah dan hitam ini, hanya punya 15 kursi di DPRD DKI Jakarta. Sementara sesuai UU Pilkada, syarat untuk mendukung calon gubernur dan wakil gubernur, harus punya 22 kursi di Pilkada DKI Jakarta.
Padahal untuk Pilkada DKI Jakarta, sudah punya ancang-ancang untuk mencalonkan sejumlah orang, di antaranya Anies Baswedan yang akan disandingkan dengan Rano Karno atau Hendrar Prihadi, mantan Walikota Semarang. Tapi pencalonan itu, tak bersambut dengan partai lain yang lebih memilih mendukung KIM plus.
Padahal Anies Baswedan yang sebelumnya didukung, Nasdem, PKS dan PKB, kini meninggalkannya dan lebih memilik mendukung pasangan Ridwan Kamil-Suswono di Pilkada DKI Jakarta. Jadi—kalau tidak ada perubahan partai pendukung di KIM plus, tentu saja Anies tidak bisa berlayar untuk Pilkada DKI Jakarta pada November 2024 mendatang.
Menanggapi soal dominasi KIM plus di Pilkada DKI Jakarta 2024, Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, PDIP mendukung pihak-pihak yang berani menentukan nasib dan berani mengambil keputusan meskipun ada intimidasi.
“Maka semangat kemerdekaan ini adalah, semangat untuk bersuara. Semangat untuk bebas menyatakan pikiran dan pendapatnya. Semangat untuk tidak boleh pihak manapun yang mencoba mengintimidasi kedaulatan setiap warga bangsa, juga kedaulatan partai politik itu untuk mengambil keputusan,” tandasnya.
Kini, setelah kemungkinan tak bisa ikut di Pilkada DKI Jakarta, PDIP masih menunggu perkembangan Pilkada terutama yang ada di Pulau Jawa. Terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur—yang merupakan barometer politik di Tanah Air. Masih ada sejumlah kader PDIP yang berpotensi meraup suara banyak. Di antaranya di Pilkada Jawa Tengah, seperti mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Andika Perkasa, atau di Jawa Timur, dengan kader seperti Azwar Anas atau Tri Rismaharini.
Jika para kader PDIP itu bisa terakomodir dan menang di Pilkada salah satu daerah di Jawa, tentu, partai ini tetap kuat dan solid. Atau sebaliknya harus melawan kekuatan besar, sebagaimana yang kemungkinan terjadi di Pilkada DKi Jakarta, PDIP tak bisa ikut kontestasi. Pilihannya, ikut gabung KIM plus atau kembali beroposisi.
Advertisement