PBNU Tolak Keras Kebijakan Full Day School
Jakarta: Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menegaskan sikapnya, menolak kebijakan pemerintah tentang Hari Sekolah yang menetapkan lima hari sekolah/delapan jam sehari (Full Day School). Hal itu disampaikan secara resmi dalam surat yang dikirim kepada pemerintah, ditandatangani Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dan Sekjen Helmy Faishal Zaini.
PBNU menilai, dari perspektif regulasi, kebijakan baru lima hari sekolah /delapan jam belajar (Full Day School) di sekolah bertentangan dengan Undang-undang. Dalam Pasal 51 UU Sisdiknas tentang “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”.
Dengan demikian, kebijakan tersebut, tidak senafas dengan UU Sistem Pendidikan Nasional yang selama ini cukup demokratis dan memandirikan satuan-satuan pendidikan untuk mengembangkan model pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesiapan sekolah/madrasah masing-masing.
Dijelaskan Kiai Said Aqil, jika berkaca terhadap ketentuan waktu kerja guru sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU tentang Guru dan Dosen. “Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan,” tuturnya, dalam rilis yang diterima ngopibareng.id, Kamis (15/6/2017) malam.
Ditambahkan, beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu, maka kebijakan lima hari sekolah /delapan jam belajar di sekolah berpotensi besar kepada jumlah jam mengajar guru di sekolah melampaui batasan yang telah diatur dalam UU yang dimaksud.
Selain itu, lewat kajian mendalam dan pemantauan intensif yang kami lakukan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas sekolah belum siap dalam rangka menerima kebijakan lima hari sekolah/delapan jam pelajaran (Full Day School). Kesiapan itu menyangkut banyak hal antara lain terkait fasilitas yang menunjang kebijakan lima hari sekolah/delapan jam pelajaran (Full Day School).
“Alasan penerapan lima hari sekolah/delapan jam belajar (Full Day Schoo)l yang didasarkan pada asumsi bahwa anak-anak kota seharian penuh ditinggalkan oleh orang tuanya sehingga dikhawatirkan terjerumus dalam pergaulan bebas tidak sepenuhnya benar, sebab pada kenyataanya kota-kota besar di Indonesia tidak sepenuhnya meninggalkan tradisi, nilai-nilai, dan pendidikan agama yang sudah berlangsung selama ini,” kata Helmy Faishal, menambahkan.
Diingatkan PBNU, tidak semua orang tua peserta didik bekerja sehari penuh, utamanya mereka yang di pelosok bekerja sebagai petani dan nelayan yang separuh waktunya dalam sehari tetap bisa dipakai bersama-sama dengan putra-putri mereka. Belajar tidak selalu identik dengan sekolah. Interaksi sosial peserta didik dengan lingkungan tempat tinggalnya juga bagian dari proses pendidikan karakter sehingga mereka tidak tercerabut dari nilai-nilai adat, tradisi, dan kebiasaan yang sudah berkembang selama ini.
PBNU menilai, tindakan menggeneralisir bahwa seluruh siswa mengalami masa-masa sendirian di tengah penantian terhadap orang tua mereka yang sedang bekerja adalah tidakan yang keliru.
“Jawaban ini beranjak dari realitas masyarakat urban dan perkoataan. Asusmsi ini berasal dari pemahaman yang keliru bahwa seluruh orang tua siswa adalah pekerja kantoran. Padahal, jumlah masyarakat perkotaan hanyalah sejumput saja. Sisanya adalah mereka yang bekerja di sektor informal seperti petani, pedagang, nelayan dan lain sebagainya,” katanya.
Mengingat tingginya gejolak serta keresahan yang terjadi di masyarakat di atas maka dengan ini PBNU meminta kepada Presiden untuk mencabut (membatalkan) kebijakan lima hari sekolah (Full Day School).
Begitu pun, PBNU mendukung sepenuhnya pentingnya pendidikan karakter sebagaimana termaktub dalam nawacita untuk dilaksanakan dalam bentuk kebijakan-kebijakan kreatif yang selaras dengan wisdom lokal yang tumbuh sesuai dengan kultur di masyarakat, sehingga tidak menimbulkan gejolak.
“Dalam hal ini, negara perlu mengarfirmasi usaha-usaha pembentukan karakter masyarakat tersebut. Pembentukan Karakter dengan penambahan waktu atau jam sekolah merupakan dua hal berbeda. Pembentukan karakter tidak secara otomatis bisa dicapai dengan jalan menambahkan jam sekolah,” kata Kiai Said Aqil. (adi)
Advertisement