PBNU: Tak Benar, Keluhan Suara Azan Dijadikan Penistaan Agama
Penangkapakan terdakwa kasus dugaan penistaan agama, Meiliana (44) yang telah divonis 18 bulan penjara akibat terbukti menghina agama Islam setelah mengeluhkan volume suara azan yang dinilainya terlau keras adalah tidak benar.
Demikian diungkapkan Ketua PBNU bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan, Robikin Emhas. Menurutnya, vonis tersebut tidak dapat dibenarkan karena ungkapan Meiliana merupakan bentuk hak menyatakan pendapat yang seharusnya tidak diposisikan sebagai sebuah kasus penistaan agama.
"Mengatakan suara azan terlalu keras menurut pendapat kami bukan penistaan agama. Saya berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat," ujar Robikin Emhas, pada ngopibareng.id, Kamis 23 Agustus 2018.
Seperti diketahui, Meiliana adalah perempuan etnis Tionghoa, yang beragama Buddha. Wanita asal Medan, Sumatera Utara itu dihukum karena mengeluhkan volume suara azan yang dianggapnya terlalu keras.
Kasus yang menjerat Meiliana sebenarnya telah terjadi pada 2016. Saat itu, ia meminta kepada pengurus Masjid di sekitar tempat tinggalnya untuk mengecilkan volume pengeras suara. Ia mengaku terganggu dengan pengeras suara masjid tersebut.
Namun, siapa sangka, pernyataan Meiliana itu ternyata memicu kemarahan warga dan menyulut kerusuhan yang menyebabkan sekelompok orang membakar serta merusak vihara dan klenteng di Tanjung Balai.
"Mengatakan suara azan terlalu keras menurut pendapat kami bukan penistaan agama. Saya berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat," ujar Robikin Emhas.
Lebih lanjut, Robikin memaparkan, persoalan penistaan agama pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 156 KUHP yang berbunyi "Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500."
Selain itu, pada Pasal 156a KUHP yang berbunyi dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun dengan bunyi "Barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia."
"Seperti dimaklumi, lahirnya pasal penodaan agama antara lain untuk menjaga harmoni sosial yang disebabkan karena perbedaan golongan atau perbedaan agama/keyakinan yang dianut," kata Robikin.
Atas dasar itu, dia menilai ungkapan Meiliana yang mengatakan suara azan terlalu keras bukan sebagai ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu melainkan harus dilihat sebagai kritik yang konstruktif.
"Sebagai Muslim, pendapat seperti itu sewajarnya kita tempatkan sebagai kritik konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural," ungkapnya. (adi)