PBNU Nyatakan Kecewa, PK Baiq Nuril Ditolak MK
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-Undangan Robikin Emhas mengaku kecewa dan prihatin atas peristiwa yang menimpa Baiq Nuril Makmun. Menurut Robikin, Baiq Nuril merupakan korban sehingga tidak patut untuk dihukum.
“Tanpa bermaksud mengomentari putusan lembaga peradilan, saya prihatin dan turut sedih terhadap yang terjadi pada Baiq Nuril. Bak pepatah ‘sudah jatuh ketimpa tangga’, sudah mendapat perlakuan tak patut, lalu dipenjara,” kata Robikin pada ngopibareng.id, Sabtu 6 Juli 2019, merespons putusan Mahkamah Agung yang menolak Peninjauan Kembali (PK) Baiq Nuril.
Ia mengatakan, dalam sistem peradilan pidana, jaksa selaku penuntut umum merupakan representasi sikap negara dan mewakili kepentingan umum, sehingga menerima atau menolak putusan dan menggunakan upaya hukum adalah haknya. Namun, suara publik justru menempatkan Baiq Nuril sebagai korban, bukan pelaku pidana atau membela diri dengan cara yang salah.
Oleh karena itu, ia berharap, ke depan penuntut umum betul-betul merasakan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di masyarakat (living law) dan menjadikannya sebagai bagian penting dalam proses penegakan hukum pidana.
“Tanpa bermaksud mengomentari putusan lembaga peradilan, saya prihatin dan turut sedih terhadap yang terjadi pada Baiq Nuril. Bak pepatah ‘sudah jatuh ketimpa tangga’, sudah mendapat perlakuan tak patut, lalu dipenjara,” kata Robikin Emhas.
“Apa boleh buat sekarang nasi telah menjadi bubur. Baiq Nuril kini merasa telah dikriminalisasi. ‘Harapan Baiq Nuril bahwa ini merupakan peristiwa kriminalisasi yang terakhir’, merupakan merupakan harapan kita semua,” jelasnya.
Menurutnya, Baiq Nuril yang menyikapi dengan lapang dada atas putusan MA harus diapresiasi karena sikap tersebut mencerminkan sebagai warga negara yang taat hukum (obidience by the law).
Namun demikian, ia menegaskan agar peristiwa ini harus dijadikan pelajaran penting dalam upaya mewujudkan daulat hukum agar hukum tidak terkesan tajam ke bawah dan tumpul ke atas, keadilan tidak dianggap sebagai komoditas yang hanya sanggup diakses kalangan terbatas, dan agar keadilan untuk semua (justice for all) menjadi sesuatu yang niscaya dalam sebuah kehidupan.
Seperti diberitakan sebelumnya, Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan terpidana kasus penyebaran konten asusila, Baiq Nuril, resmi ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).
Ketua Bidang Hukum dan Humas MA, Abdullah berkata alasan yang diajukan Baiq Nuril dalam pengajuan PK hanya mengulang fakta yang sudah dipertimbangkan pada putusan sebelumnya.
"Artinya, putusan pengadilan tingkat pertama sampai kasasi sudah benar. Perbuatan pidananya terbukti sah dan meyakinkan," kata Abdullah, Jumat 5 Juli 2019.
Abdullah berkata, dengan ditolaknya PK Baiq Nuril, maka memperkuat vonis enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan terhadap perempuan tersebut.
Catatan ngopibareng.id, kasus ini bermula ketika Baiq Nuril mengaku telah dilecehkan oleh atasannya pada pertengahan 2012 lalu, saat ia masih berstatus honorer di SMAN 7 Mataram.
Singkat cerita, atasannya yang berinisial M itu memanggil Baiq Nuril untuk berbincang-bincang soal pekerjaan. Namun, pembicaraan mengarah pada cerita atasannya soal pengalaman seksual dengan wanita yang bukan istri sahnya.
Perbincangan itu pun terus berlanjut dengan nada-nada pelecehan terhadap Nuril. Terlebih, M menelepon Nuril lebih dari sekali. Nuril pun merasa terganggu dan merasa dilecehkan oleh M melalui verbal. Tak hanya itu, orang-orang di sekitarnya menuduhnya memiliki hubungan gelap dengan M.
Tak terima dengan segala tuduhan itu, Nuril berinisiatif merekam perbincangannya dengan M untuk membuktikan dirinya tak memiliki hubungan gelap. Rekaman itu tersimpan lama, tak pernah dilaporkan karena Nuril takut pekerjaannya lenyap.
Akhirnya, Nuril bercerita soal masalah itu ke rekannya, yakni Imam Mudawin. Rekaman itu pun disebarkan oleh Imam ke Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Mataram.
Diketahui, penyerahan rekaman percakapannya dengan M, hanya dilakukan Nuril dengan memberikan ponsel. Proses pemindahan rekaman dari ponsel ke laptop dan ke tangan-tangan lain sepenuhnya dilakukan oleh Imam.
Merasa tidak terima aibnya didengar oleh banyak orang, M pun melaporkan Nuril ke polisi atas dasar Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Padahal rekaman tersebut disebarkan oleh Imam, namun malah Nuril yang dilaporkan oleh M.
Kasus ini pun berlanjut hingga ke persidangan. Setelah laporan diproses, Pengadilan Negeri Mataram memutuskan Nuril tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan kota.
Kalah dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Pada 26 September 2018 lalu, MA memutus Nuril bersalah dan menghukumnya dengan pidana enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta. *
Advertisement