PBNU Minta Revisi Total UU Jaminan Produk Halal
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyampaikan rekomendasi kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan revisi menyeluruh terhadap UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH). PBNU menilai regulasi terkait jaminan produk halal bertentangan dengan kaidah hukum, aspek sosiologis, dan aspek yuridis.
PBNU melayangkan surat rekomendasinya kepada Ketua DPR RI yang juga ditembuskan kepada Presiden RI, Ketua Komisi VIII DPR RI, Badan Legislasi DPR RI, dan arsip.
"PBNU menilai bahwa UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang JPH bermasalah secara filososis. Undang-undang ini bertentangan dengan kaidah dasar hukum, yakni al-ashlu fil asyya’i al-ibahah illa an yadullad dalilu ‘ala tahrimiha (pada dasarnya semua dibolehkan/halal kecuali terdapat dalil yang mengharamkan)," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, pada ngopibareng.id, Senin 9 Desember 2019.
PBNU juga menyoroti UU Tentang JPH secara sosiologis. Masyarakat Indonesia mayoritas Muslim. Kondisi ini berbeda dengan negara-negara lain di mana masyarakat Muslim merupakan penduduk minoritas yang perlu dilindungi oleh negara melalui regulasi dari segi konsumsi makanan haram. Oleh karena itu produk dari regulasi ini salah satunya adalah jaminan halal (sertifikat halal).
Oleh karena itu, dalam konteks sosioligis di Indonesia, yang seharusnya disertifikasi adalah produk-produk yang tidak boleh dikonsumsi oleh masyarakat tertentu. Dalam kaitan itu PBNU merekomendasikan agar lembaga yang ada seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan RI dan Standar Nasional Indonesia diperkuat.
Adapun secara yuridis, berdasarkan teori distribusi kewenangan Undang-undang Tentang JPH ini bermasalah. Pada prinsipnya negara dapat mendistribusikan kewenangannya sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, namun konstitusi memberikan batasan yaitu untuk hal-hal yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
"Oleh karenanya distribusi kewenangan dalam konteks JPH tidak dapat dilakukan hanya oleh negara. Selain itu, norma dalam Undang-undang JPH ini memberikan monopoli terhadap Komisi Fatwa MUI untuk menerbitkan fatwa. Padahal dalam sistem hukum yang berlaku berdasarkan UUD 1945, kewenangan untuk menerbitkan fatwa hanya berada di cabang kekuasan yudikatif; yaitu Mahkamah Agung RI," tutur Kiai Said Aqil.
Monopoli kewenangan ini tampak dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal dan yang belakangan Keputusan Menteri Agama Nomor 982 Tahun 2019 Tentang Layanan Sertifikasi Halal yang ditandatangani Menag RI pada 12 November 2019.
Dari prinsip dasar hukum Islam ini, PBNU menilai UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal ini perlu ditinjau ulang secara menyeluruh karena bertentangan dengan kaidah hukum.
Rekomendasi revisi total atas UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang JPH didasarkan pada serangkaian kajian terbatas, seminar secara ekstensif, dan munazharah, bahtsul masail dalam Rapat Pleno PBNU pada tanggal 20-22 September 2019 di PP Al-Muhajirin Purwakarta terkait “UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
Advertisement