PBNU Desak PBB Turun Tangan Atasi Derita Muslim Uighur
Kekerasan yang menimpa kaum Muslim Uighur di Xinjiang, China, mengundang keprihatinan pelbagai pihak di Indonesia. Termasuk di antaranya, Nahdlatul Ulama (NU). Terhadap kasus penindasan yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak agar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk turun tangan.
"Kami mendesak PBB untuk segera menyelidiki akar persoalan dan fakta yang terjadi di Xianjing," kata Ketua Umum PBNU Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA.
Dalam pernyataan resmi PBNU, ditandantangani bersama Sekjen PBNU DR. Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini, dikeluarkan di Jakarta, 20 Desember 2018, organisasi Islam terbesar di Indonesia ini menyatakan penyesalannya atas pelanggaran HAM dan perlakukan diskriminasi terhadap Muslim Uighur tersebut.
"Kami mengajak Kepada Masyarakat Internasional untuk bersama-sama menggalang bantuan kemanusiaan bagi masyarakat Xinjiang," kata Kiai Said Aqil Siroj.
"Jika fakta yang terjadi adalah pelanggaran HAM yang disebabkan oleh motif diskriminasi terhadap sebuah ras tertentu, maka PBNU sangat menyesalkan kejadian tersebut. Tindakan diskriminatif harus dilawan dan dihapuskan, apalagi menyangkut persoalan ras," kata Kiai Said, dalam keterangan diterima ngopibareng.id, Kamis 20 Desember 2018.
Selain itu, PBNU mengecam segala bentuk dan tindak kekerasan, termasuk di dalamnya adalah perilaku menyerang pihak-pihak yang dianggap berbeda.
Pada poin ketiga, PBNU mendorong pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah diplomatis dan ikut andil dalam upaya menciptakan perdamaian di Xianjing. Upaya ini penting dilakukan sebagai bagian dari tanggungjawab Internasional yakni turut berperan dalam usaha menciptakan perdamaian dan keamanan dunia.
"Kami mengajak Kepada Masyarakat Internasional untuk bersama-sama menggalang bantuan kemanusiaan bagi masyarakat Xinjiang," kata Kiai Said Aqil, menegaskan.
Sejumlah media internasional sedang menyoroti Pemerintah China. Pemerintah di Negeri Tirai Bambu tersebut, dihujani berbagai kritik dari masyarakat dunia atas perlakuan mereka yang dianggap menindas sejumlah besar warga suku Uighur, kelompok minoritas Muslim negeri itu, antara lain dengan menahan mereka di kamp-kamp khusus.
Pada Agustus 2018, sebuah komite PBB mendapat laporan bahwa hingga satu juta warga Uighur dan kelompok Muslim lainnya ditahan di wilayah Xinjiang barat, dan di sana mereka menjalani apa yang disebut program 'reedukasi, atau 'pendidikan ulang'.
Mereka adalah kaum Muslimin yang beretnis Turki, jumlahnya di Cina sekitar 11 juta orang. Sebagian besar bermukim di bagian barat negeri itu.
Provinsi dengan mayoritas suku Uighur ini terletak di ujung barat Cina, dan merupakan wilayah terbesar di negeri itu. Sebagai daerah otonom -setidaknya secara teori- Xinjiang memiliki semacam pemerintahan sendiri, yang agak jauh dari kendali Beijing. Muslim Uighur mencakup setengah dari sekitar 26 juta penduduk di wilayah ini.
Apa yang terjadi pada orang-orang di Xinjiang?
Menurut Human Rights Watch, suku Uighur khususnya, dipantau secara sangat ketat. Mereka harus memberikan sampel biometrik dan DNA. Dilaporkan terjadi penangkapan terhadap mereka yang memiliki kerabat di 26 negara yang dianggap 'sensitif'. Dan hingga satu juta orang telah ditahan.
Kelompok-kelompok HAM mengatakan orang-orang di kamp-kamp itu dipaksa belajar bahasa Mandarin dan diarahkan untuk mengecam, bahkan meninggalkan keyakinan iman mereka.
Dalam laporan BBC disebutkan, "Sejumlah mantan tahanan mengatakan kepada kami tentang penyiksaan fisik maupun psikologis yang mereka alami di kamp-kamp penahanan.
"Seluruh keluarga mereka lenyap, dan mereka mengatakan bahwa para tahanan disiksa secara fisik dan mental. Kami juga melihat bukti dari berlangungnya pengawasan nyaris total terhadap warga Muslim di Xinjiang." (adi/bbc)