PBNU dan Wajah Baru Santri
Lihatlah sikap seseorang dari tempat kerjanya. Atau tempat tinggalnya. Atau kalau perlu lihat juga kamar mandinya. Semua itu mencerminkan mindset alias cara berpikirnya.
Demikian pula saat saya melihat dinamika di NU. Ada perubahan mendasar di kantor PBNU Jakarta. Perubahan desain dan layout kantor pimpinan tertingginya.
Saya sudah tiga kali datang ke kantor pusat Organisasi Kemasyarakat (Ormas) Islam terbesar di Indonesia itu. Sejak NU dipimpin KH Yahya Cholil Staquf. Yang pernah sama-sama kuliah di UGM.
Tapi baru beberapa hari lalu masuk ke ruang sekretariat. Ruangan yang ada di lantai tiga gedung PBNU. Ruangan ini disamping kiri pintu keluar lift. Sedangkan ruangan Ketua Umum PBNU ada di ujung lorong lurus dengan pintu lift.
Apa yang berubah dari kantor pimpinan puncak ormas yang usianya hampir seabad ini? Desain dan layoutnya. Selain lebih modern minimalis, desain kantornya kiai ini lebih terbuka.
Ada tiga ruangan di kantor Ketua Umum PBNU: Ruang kerja, ruang rapat dan ruang tamu. Masing-masing ruangan itu hanya disekat dengan dinding kaca. Dengan siapa dan sedang apa bisa dilihat. Tak ada yang tertutup.
Suasana ruangan yang terbuka ini berbeda dengan sebelumnya. Saat itu, ketika belum dipugar menjadi minimalis modern dan terbuka, ruangan ini tertutup. Untuk menemui penghuni kantor harus melalui dua pintu.
Desain dan layout baru yang terbuka ternyata juga tampak di ruangan sekretariat jenderal. Kantor Sekjen yang kini dijabat keponakan Gus Dur, Saifullah Yusuf, juga menyatu dengan ruangan para wakil sekjennya.
Suasana di dalam ruang sekretariat itu seperti coworking space. Hanya ada satu ruangan tempat makan dan ruang terbuka. Ruang tamu pun jadi satu dengan ruangan terbuka itu. Plus satu ruangan dengan sekat kaca yang menjadi tempat kerja Gus Ipul –panggilan akrab Saifullah Yusuf.
Karena kedua pimpinan PBNU yang menjadi penentu arah organisasi itu sedang perjalanan dinas ke luar kota, saya hanya bertemu dengan beberapa wasekjen. Juga Wakil Ketua PBNU KH Zulfa Mustofa. Kiai muda yang ceramahnya mulai mewarnai media sosial.
Di ruang lain, sedang berlangsung rapat salah satu lembaga dengan Kementerian Koperasi. PBNU memang sedang merintis badan usaha baru yang akan menjadi instrumen untuk pemberdayaan ekonomi warganya.
Perubahan fisik kantor PBNU ini jelas menunjukkan perubahan mindset kepemimpinan ormas ini. Selain terasa lebih dinamis, kepemimpinan baru ini terasa lebih terbuka. Tidak hanya dalam posisi politis, tapi juga dalam pemikiran keagamaan.
Sehari-hari, kantor PBNU memang menjadi lain. Tamu yang berdatangan makin beragam. Tidak hanya dari dalam negeri. Tapi juga luar negeri. Seakan magnet NU telah kembali seperti ketika dipimpin Gus Dur di masa lalu.
Apalagi, di awal kepemimpinannya, Gus Yahya Staquf –demikian Ketum PBNU biasa dipanggil– mengelar pertemuan internasional Religion 20 (R20) yang akan berlangsung di Bali, November 2022 mendatang. Inilah pertemuan spiritual para tokoh dari berbagai agama dunia yang diinisiasi NU.
Pertemuan ini akan mengokohkan peran NU dalam membangun peradaban global yang baru. Sekaligus menjadi instrumen diplomasi yang akan menguntungkan bangsa Indonesia. Sebab, R20 menjadi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) agama besar pertama yang didukung pemerintah RI.
Melalui R20, NU ingin memastikan bahwa agama berfungsi sebagai sumber solusi yang tulus dan dinamis, ketimbang menjadi sumber masalah di Abad ke-21. KTT pertama di dunia yang digelar NU di saat Pemerintah Indonesia memegang kepresidenan G20 tahun ini digelar bersama Liga Dunia Muslim yang berpusat di Makkah.
Seiring dengan itu, NU juga menggelar halaqah keagamaan di sejumlah pesantren. Ini menjadi ajang kajian yang intensif mengenai berbagai persoalan keagamaan dan kehidupan riil yang makin dinamis. Kajian yang melibatkan para ahli agama NU yang tersebar di penjuru pelosok tanah air.
Legitimasi keilmuan –sebagai penguasa kitab-kitab klasik keagamaan– dan kebesaran organisasi, menjadikan langkah itu sangat bermakna bagi kehidupan. NU dengan langkah baru yang lebih dinamis dan terbuka akan memimpin diskursus berbagai persoalan dunia yang belakangan disibukkan dengan lahirnya radikalisme di semua agama.
Tentu Gus Yahya Staquf tidak dengan gampang bisa menarik gerbong baru ke arah yang lebih besar. Ceruk peran besar yang diambilnya akan selalu melahirkan prasangka dan ancaman yang besar pula. Baik tantangan internal, dari sebagian kaum di dalam yang selama ini diuntungkan dengan kebesaran NU, maupun kelompok lain yang merasa terancam pengaruhnya.
Namun, NU dengan basis pesantren dan basis generasi santri baru yang makin kosmopolit dan terdidik memberi harapan baru bahwa terobosan untuk peradaban dunia ini akan membawa hasil. Apalagi, selama ini, sudah terbukti bahwa NU menjadi ormas Islam yang tetap eksis dalam menghadapi badai dalam setiap perubahan jaman.
Saya menyaksikan, wajah baru di lantai tiga kantor PBNU tak hanya mencerminkan visi dan mindset baru kepemimpinan sekarang. Tapi menjadi salah satu ekspresi wajah baru santri di Indonesia. Wajah baru yang dulu sering diejek sebagai kaum sarungan menjadi kaum rujukan bagi peradaban dunia tanpa menyingkirkan agama.