PBB ngaku Kesulitan Masuk ke Gaza, Truk Bantuan Ditolak setelah 13 Jam Diperiksa Israel
Badan PBB untuk pengungsi di Palestina, UNRWA menyebut sedikitnya 50 ribu anak di Jalur Gaza mengalami malnutrisi dan membutuhkan perawatan segera. Tragedi itu muncul akibat blokade Israel atas bantuan kemanusiaan yang masuk ke Gaza.
"Dengan pembatasan atas akses kemanusiaan yang menerus, warga Gaza terus menghadapi level kelaparan yang parah. Tim UNRWA terus berupaya menjangkau keluarga dengan bantuan, tetapi kondisinya sangat sulit," kata pernyataan UNRWA, Sabtu 15 Juni 2024, dilansir dari Al Jazeera.
Risiko pekerja kemanusiaan tewas saat menyampaikan bantuan juga tinggi di Gaza. "Lebih banyak pekerja kemanusiaan tewas di perang ini, dibandingkan perang-perang lain sejak PBB berddiri," kata Juru Bicara UNICEF, James Elder.
James juga menceritakan pembatasan yang dilakukan militer Israel di lapangan. James menyebut, truk misi dari UNICEF mendapat pra izin dari Israel untuk membawa suplai medis bagi 10 ribu anak-anak, pada Rabu 12 Juni lalu. Truk itu direncanakan masuk dari Deir-el-Balah menuju Kota Gaza dengan Jarak sekitar 40 kilometer.
"Dibutuhkan Waktu 13 jam, dengan 8 jam habis di pos penjagaan sebab mereka bertanya tentang izin, "apakah ini truk atau van"," kata James.
Namun, setelah berpanjang-panjang menjelaskan, truk itu kemudian tidak mendapat akses untuk masuk ke Kota Gaza. "Faktanya truk ini ditolak masuk. 10 ribu anak itu tidak mendapatkan bantuan. Israel yang menduduki wilayah memiliki kewajiban untuk memfasilitasi bantuan," lanjutnya.
Sedangkan pintu masuk lain di Rafah telah tertutup aksesnya akibat operasi militer Israel, selama sebulan terakhir.
Tak hanya militer, kelompok ekstremis sayap kanan Israel juga sering melakukan protes dan memblokir jalan, mencegah bantuan masuk ke Gaza. Salah satu kelompok ekstremis itu telah mendapat sanksi dari Amerika Serikat, akibat merusak bantuan dan menghalangi truk masuk ke Gaza.
Selain kendala di lapangan, UNRWA yang menjadi satu-satunya sumber bantuan dari PBB, juga mengalami krisis akibat tuduhan Israel jika staf UNRWA terlibat dalam serrangan 7 Oktober 2023. Akibatnya, banyak negara barat menghentikan dukungan dan bantuan untuk UNRWA.
Pimpinan UNRWA Philippe Lazarani menyebut, tindakan negara barat tersebut menjadi "hukuman kolektif tambahan" yang dialami warga Palestina, di tengah hujan senjata dari Israel.