Paviliun di Sorga
Andaikan ternyata kelak saya lulus masuk sorga, dan mendapat jatah rumah tidak terlalu kecil, dengan halaman depan dan samping yang cukup luas, serta kebun buah di belakang rumah: insyaallah akan saya bangun Paviliun di sisi kanan rumah saya untuk Mas Darmanto Jatman.
Itu bukan karena saya seorang pemurah dan senang bersedekah, melainkan karena selama kost di Bumi, sampai Mas Dar ditimbali oleh Maha Pencipta dan Pengasuhnya: utang saya kepada Mas Dar belum saya lunasi. Di tahun-tahun terakhir kehidupan beliau yang “dimonopoli oleh Allah”, saya nyicil bayar utang dengan hanya memeluk-meluk beliau dan menciumi pipi beliau.
Sebab lain kenapa hutang kepada beliau tak kunjung mampu saya lunasi adalah karena beliau lebih kaya dari saya terutama secara rohaniah. Beliau adalah kakak yang selalu tersenyum wajahnya sepanjang saya mengenal beliau sejak tahun 1969. Andaikan saya bisa melukis, yang saya torehkan di kanvas adalah senyuman itu sendiri: seluruh wajah dan kehidupan Mas Dar adalah senyuman. Tidak akan sanggup saya melukis wajah beliau, apalagi karakter dan kehidupan beliau. Saya hanya bisa menggoreskan senyuman.
Dengan senyuman itu pula beliau menerima saya pada suatu siang tahun 1972, membukakan pintu rumah beliau di kawasan Tamansiswa Yogyakarta. Beliau memapah dan menuntun saya ke tempat tidur dan saya terbaring lunglai. Badan saya sangat panas, demam tinggi, kepala seperti dihimpit dua gunung, lidah tidak bisa menikmati rasa apapun, seluruh hidup saya greges-greges, kehilangan alat-alat untuk menikmati betapa indah dan nyaman sesungguhnya Allah menghamparkan rahmat-Nya.
Tidak mungkin tubuh terbengkalai itu saya baringkan di trotoar Malioboro, tempat tinggal saya selama 1970-1975. Mas Dar menyiapkan ranjang untuk adiknya yang malang itu. Saya tidak mengutuk atau membenci kemiskinan, tetapi saya, juga kebanyakan teman-teman penyair dan sastrawan Yogya, memang sungguh-sungguh miskin. Miskin dalam arti yang sementah-mentahnya maupun sematang-matangnya. Kemiskinan bukan simbol, bukan retorika, bukan konotasi. Juga tidak pakai dramatisasi dan romantisisasi. Miskin dalam arti belum tentu makan ketika hari ditempuh, hari yang kemarin, yang sekarang, atau apalagi yang besok: yang sama sekali tidak pernah ada di dalam ingatan atau kesadaran.
Kami para pembelajar puisi dan sastra di paruh pertama 1970an itu disayang Tuhan dengan bisa mencapai Peradaban Sandang. Kami lalulalang di sepanjang Malioboro dengan berpakaian. Kami pakai celana, berbaju, minimal pakai kaos. Linus Suryadi AG sahabat karib saya dan adik kesayangan Mas Dar, bahkan cèkèran, tak pakai sandal. Saya masih agak lumayan kelas sosialnya dibanding saudara saya asal Kadisobo itu. Tetapi hanya sampai Peradaban Sandang taraf pencapaian kami. Adapun Peradaban Pangan, itu adalah spekulasi, harapan dan doa setiap saat. Sedangkan Peradaban Papan, itu utopia, itu khayalan yang sombong, itu “Waiting for Godot”.
Di kelas terbawah dari strata sosial itu, seperti itu, kalau sakit, tidak bisa romantis “rumahku adalah Bumi, atapku adalah Langit”. Setiap punggung dibaringkan di Malioboro, ternyata lantai trotoar adalah neraka salju. Setiap angin menerpa, ia menjelma pisau, menikam-nikam tubuhku, memperhinakan eksistensiku. Maka ketika itu malaikat yang nyata ada tiga: Mas Darmanto Jatman, Mas Bambang Soebendo, wartawan senior “Sinar Harapan”, serta Soewarno Pragolapati, senior kami di “Persada Studi Klub” Malioboro. Mereka bertiga bergiliran menampung pengungsi asal Jombang yang terbengkalai nasibnya di Malioboro.
Lho kemana Presidennya? Di mana Umbu Landu Paranggi? Kenapa bukan Presiden Malioboro itu yang menampung para pengungsi? Wahai, kalau angin menyapu wajahmu tapi tanpa kelihatan wujudnya: Umbu lebih tak kelihatan dibanding angin. Kalau setiap makhluk meng-ada dengan memerlukan ruang dan waktu: Umbu sudah lama dicari-cari oleh ruang dan waktu dan belum pernah ketemu. Kenapa Umbu tidak menampung anak-anaknya yang miskin, yang tak berumah, tak pasti makan, yang profesinya adalah kelaparan dan ideologinya adalah kesepian? Hahahaha, Umbu lebih lapar dan lebih sepi dibanding kelaparan dan kesepian itu sendiri.
Dan Mas Darmanto tidak pernah turut menjelaskan siapa dan bagaimana Umbu itu sebenarnya–kecuali dengan senyumannya. Mas Dar selalu mengamati kami sudah makan atau belum, kemudian beliau menyeret kami ke warung. Umbu melatihkan puisi-puisi kami dalam tirakat “Kehidupan Puisi”, Mas Dar diam-diam menyumbang pematangan proses kreatif puisi kami dengan mengundang kami ke UNDIP. Di suatu bangunan entah bagian mana dari UNDIP. Kami dikumpulkan berempat: dari Yogya Linus dan saya, dari Jakarta Yudhistira Adhi Nugraha dan Adri Darmaji. Kami digembleng oleh Begawan Puisi sahabatnya Mas Dar, yakni penyair kelas utama Indonésia: Sapardi Djoko Damono.
Di antara para senior penyair ketika itu, Mas Dar termasuk di antara sangat sedikit yang “terpelajar”. Mas Dar adalah ilmuwan sosial, yang ilmunya lebih hidup dan “berdarah” karena pengalaman sastra dan seninya, serta yang lebih tegas tekstur dan perwajahan puisinya karena dimensi keilmuan beliau. Di Keraton Ilmu UNDIP, beliau Senior, Sesepuh, Begawan, Panembahan, Jimat. Maka UNDIP yang nyengkuyung pemakaman beliau, bukan masyarakat sastra atau apalagi gèng penyair. Sebab menurut Rendra salah satu penyair terbesar Indonesia, penyair “berumah di angin”. Dan jangan sekali-sekali punya gagasan untuk memadamkan mas Dar di angin.
Selamat jalan duluan Mas Dar. Kami semua sedang antre, meskipun tidak tahu urutannya. Mas Darmanto Jatman sudah memasuki Semester berikut, kami uthak-uthek gludag-gludeg, keserimpat-keserimpet di Semester awal yang semakin keruh dan kumuh.
Mohon sampaikan salam kami semua ke Pak Umar Kayam, mas Willy Rendra, semua, juga Mbah Chairil Anwar. “Sekali berarti, sesudah itu mati”. Kami di sini semakin tidak berarti, padahal senja makin meremang, Malaikat Izroil berkelebat-kelebat keluar masuk semak-semak. Pendekar Bayangan mengendap-endap di antara tidur dan jaga.
Emha Ainun Nadjib. Yogya, 14 Januari 2018
Advertisement