Paus Fransiskus: LGBT Bukan Kriminal, tetapi Dosa
Paus Fransiskus mengkritik undang-undang yang mengkriminalkan praktik homoseksual dan LGBT. Menurutnya, perilaku LGBT bukan tindak kriminal, tetapi adalah dosa.
"Menjadi homoseksual bukanlah tindak kriminal," kata Paus Fransiskus dalam wawancara dengan AP di Vatikan pada Selasa, 24 Januari 2023, dikutip dari Al Jazeera, Rabu 25 Januari 2023.
Ia mengetahui jika sejumlah uskup di banyak negara mendukung kriminalisasi LGBT. Menurutnya tindakan itu adalah cerminan dari budaya setempat, dan para uskup harus menjalani perubahan untuk mengakui martabat setiap orang.
Menurut pemimpin tertinggi Vatikan itu, kriminalisasi LGBT adalah bentuk ketidakadilan dan Gereja Katolik harus bekerja untuk mengakhirinya. "Mereka harus melakukan ini. Harus melakukan ini," lanjutnya.
Dalam wawancara yang sama, Paus Fransiskus menegaskan jika LGBT bukanlah tindak kriminal. "Itu bukan kriminal. Bukan. Tapi itu adalah dosa. Mari kita bedakan antara tindak kriminal dan dosa. Tak mengasihi dengan sesama juga adalah bentuk dosa," katanya.
Sikap Paus Fransiskus
Katolik mengajarkan jika tindakan homoseksual adalah penyimpangan. Tetapi mereka tetap harus diperlakukan dengan baik. Paus Fransiskus tidak mengubah pandangan ini. Namun ia sering menjangkau komunitas LGBT selama kepemimpinannya.
Dimulai dari tahun 2013, ketika ia tak menyudutkan adanya pendeta gay, sambil menjawab "Siapakah saya, untuk menilai mereka," katanya.
Ketika menjadi Uskup Agung di Buenos Aires, ia lebih menyarankan adanya perlindungan terhadap pasangan LGBT, dibanding mendukung pernikahan sesama jenis.
Meski banyak merangkul LGBT, ia juga menerima kritik dari kelompok ini. Di tahun 2021, ia mengeluarkan fatwa jika Gereja Katolik tak bisa memberikan pemberkatan pernikahan sesama jenis, "sebab Tuhan tak bisa memberkati dosa."
Diketahui sedikitnya 67 negara memiliki undang-undang yang mengkriminalkan hubungan sesama jenis. 11 di antaranya memiliki ancaman hukuman mati bagi tindakan tersebut, menurut data Human Dignity Trust.
Para pakar percaya, meski undang-undang itu tidak ditegakkan, mereka menjadi sumber kekerasan dan stigmatisasi pada kelompok LGBT.