Patola, Kue Khas Ramadhan yang Tetap Laris di Masa Pandemi Corona
Di Banyuwangi ada jajanan khas Ramadhan yang melegenda. Namanya patola. Kue ini menjadi sajian berbuka puasa yang sangat disukai warga 'Osing'. Selain rasanya yang nikmat dan khas, kue patola hanya ada pada bulan Ramadhan saja. Ini yang membuat penjualan kue patola tetap laris manis di masa pandemi Covid-19 ini.
Kue patola merupakan penganan yang terbuat dari tepung beras. Sekilas, bentuknya mirip mie. Di luar Banyuwangi, orang menyebut kue ini putung mayang atau petulo.
Biasanya Patola dibuat dengan beberapa warna yang mengundang selera seperti merah muda, putih dan hijau. Kue ini disajikan dengan kuah santan dengan campuran gula merah. Kenikmatan kue patola bisa dinikmati dalam keadaan hangat maupun dingin.
Salah satu pembuat kue patola yang sudah turun temurun adalah Istifala. Warga Lingkungan Kaliasin, Kelurahan Karangrejo, Banyuwangi ini sudah membuat kue patola sejak berumur 10 tahun.
Ketika itu, dia membantu ibunya yang juga pedagang dan pembuat patola. Wanita 52 tahun ini pun meneruskan usaha pembuatan kue patola warisan ibunya hingga kini.
“Saya mulai membuat dan berjualan patola sendiri sejak tahun 2000 sampai sekarang. Alhamdulilah selalu banyak pembelinya,” terang Istifalah, ditemui di rumahnya, Selasa, 5 Mei 2020.
Di masa pandemi covid-19 ini, Istifala sempat khawatir penjualan kue patola akan terimbas. Namun, sejak awal puasa, dia mengaku sudah dihubungi para pelanggannya. Diapun kembali memproduksi kue patola.
Istifala dibantu suaminya, Junaidi, 60 tahun, yang sejak awal Ramadhan sudah tidak bekerja akibat pandemi covid-19. Ada juga anak perempuan dan dua saudaranya yang ikut membantu membuat kue patola.
“Alhamdulillah omset saya semakin meningkat. Kalau puasa tahun lalu, dalam sehari saya hanya membutuhkan 25 sampai 30 kg tepung beras sehari, sekarang bisa 40-50 kg per hari,” jelasnya.
Proses pembuatan kue patola ini cukup mudah. Cara pembuatannyapun masih dengan cara tradisional. Tepung beras terlebih dahulu dikukus hingga mencapai kematangan yang diinginkan.
Usai dikukus, tepung beras diaduk dengan campuran air secukupnya agar mendapatkan adonan yang pas. Pembuatan adonan ini merupakan proses yang paling penting. Sebab, butuh keahlian khusus agar mendapatkan tekstur yang lembut dan kenyal.
Pemberian warna juga dilakukan pada saat pembuatan adonan ini. Pewarnaan harus dilakukan sedikit demi sedikit agar warna patola sesuai keinginan dan mengundang selera.
Adonan kemudian dicetak dengan cara manual menggunakan alat khusus yang terbuat dari besi. Jadilah kue patola yang dalam kondisi setengah matang.
Patola setengah matang ini kemudian diletakkan pada lembaran daun pisang. Tiap lembar berisi 15 patola. Selembar daun pisang berisi 15 patola ini hanya dipatok seharga Rp 6.000.
“Selanjutnya patola dikukus lagi selama kurang lebih 20 menit agar patola ini matang dan siap untuk dikonsumsi,” beber Istifala.
Saking ramainya pembeli, puasa tahun ini Istifala tidak perlu menjual kue patolanya ke pedagang yang ada di pasar. Sebab, reseller justru berebut datang ke rumahnya untuk membeli kue patola. Konsumen juga banyak yang datang langsung ke rumahnya. Karena harga yang dipatok relatif sangat murah.
“Patola ini kue khas Ramadhan. Kalau bulan Ramadan gak makan patola tidak afdol. Kalau disini harganya sangat terjangkau. Hampir setiap hari saya beli di sini,” kata salah satu pembeli, Ida Fitria, 40 tahun, warga Jalan Ikan Sadar, Banyuwangi.
Hal yang sama juga disampaikan Amirul Mumtaz, 35 tahun, warga Kelurahan Karangrejo, ini mengaku membeli patola dari Istifala untuk dijual kembali. Menurutnya, kue patola laku keras untuk menu buka puasa.
“Ini saya beli untuk saya jual lagi. Saya jual dengan kemasan mika lengkap dengan kuah santannya. Satu mika saya jual seharga Rp 5.000,” ungkapnya.