Pastikan Halal, PWNU Jatim akan Gunakan Vaksin AstraZeneca
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur akan menggelar vaksinasi kepada ratusan kiai, pengurus dan aktivis NU. Program ini digelar di Kantor PWNU Jatim, Surabaya, Selasa 23 Maret 2021. Vaksinasi akan menggunakan vaksin AstraZeneca yang dikabarkan mengandung babi.
Katib Syuriah PWNU Jatim, Syafruddin Syarif mengatakan, vaksinasi akan kembali memprioritaskan yang sudah berusia lebih dari 60 tahun. Menurut dia, jenis vaksin yang akan dipakai pada kegiatan itu ialah AstraZeneca.
Menurut rencana, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dijadwalkan akan menghadiri dan menyaksikan langsung vaksinasi di NU Jatim itu. Namun, Syafruddin mengaku belum mendapatkan keterangan lebih lanjut soal kedatangan sang menteri. “Lebih jelasnya jenengan (anda) tanya ke panitia,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris PWNU Jatim, Akhmad Muzakki mengaku, penggunaan vaksin AstraZeneca ini adalah untuk meyakinkan masyarakat. "Vaksinasi ini dilaksanakan sebagai bentuk keteladanan dari NU dan bukti bahwa vaksin AstraZeneca halal," tegas dia.
Jika terlaksana, itu adalah vaksinasi AstraZeneca pertama dilaksanakan sejak vaksin tersebut tiba di Indonesia. Seperti diberitakan Ngopibareng.id sebelumnya, vaksin AstraZeneca keluaran University of Oxford Inggris itu mengundang pro kontra karena memiliki kandungan babi yang diharamkan bagi umat muslim.
Namun berdasar informasi memang vaksin ini boleh digunakan karena berdasar informasi otoritas lembaga fatwa di Mesir, kemudian di Uni Emirate Arab, menyebut halal. Kepercayaan itu karena banyak kiai di Indonesia yang merupakan alumni dari Al Azhar Mesir. Sehingga ketika Mesir maupun beberapa negara Arab lain mengeluarkan fatwa halal, otomatis akan percaya.
“Katanya ada unsur babi pancreas atau apa, katanya otoritas Mesir dan UEA itu sudah mengalami istihalah itu beralih wujud,” kata Marzukki.
Ia kemudian mencontohkan, kotoran hewan digunakan untuk pupuk ketela, namun ketela tersebut tetap boleh dikonsumsi. “Pun kalau diurai secara kimia mungkin ada unsur dari kotoran, tapi tidak dihukum najis karena sudah beralih wujud. Itu alasan dari Mesir, UEA, dan beberapa negara arab,” pungkas Marzuki.