Paskah Open, Dibalik Ideologi Pasar Bebas Trump
Sesekali perlu juga agak serius memikirkan mengapa Presiden Trump bikin pernyataan kontroversial.
Terutama pernyataannya yang terakhir kemarin, Selasa. Ia minta agar mulai Hari Raya Paskah nanti --minggu depan-- social distancing dihapus. Rakyat harus dibebaskan liburan. Harus dibebaskan untuk belanja. Harus mulai lagi bekerja seperti biasa. Harus mulai bebas lagi makan-makan di restoran. Agar ekonomi hidup lagi. Negara ini bisa mati bukan karena Covid-19, tapi karena ekonomi macet.
Tentu Trump tidak sedang melucu. Trump itu memang manusia 'binatang ekonomi'. Yang bukan ekonomi tidak penting. Terutama kalau ekonomi jelek ia yakin tidak bisa terpilih lagi. Pertumbuhan ekonomi yang hebatlah yang selalu diagung-agungkan Trump sebagai prestasi kerjanya.
Bill Gates dan Melinda Gates tidak secara langsung mengkritik Trump. "Akankah kita biarkan kalau ada mayat tertumpuk di pojok-pojok jalan karena peti mati tidak cukup lagi," ujar Bill Gate.
Bill Gate memang penganut aliran social distancing. Demikian juga mayoritas ahli kesehatan.
Trump anti lockdown. Anti social distancing.
Adakah Trump kali ini pun --dalam hal wabah ini pun-- menerapkan ideologi pasar bebas? Sebagaimana aliran ideologi ekonominya?
"Itulah sejarah kejayaan Amerika," ujarnya. Maksudnya, menurut tafsir saya, Amerika itu bisa hebat karena ideologi pasar bebas. Kalau tidak lagi menganut pasar bebas akan hilang kehebatannya.
Dengan ideologi itu terjadilah persaingan ketat. Yang kuat bersaing hanyalah yang hebat-hebat. Amerika adalah kumpulan orang yang daya saingnya kuat. Karena itu Amerika menjadi jaya.
Dalam kasus wabah ini pun Trump bisa jadi berpikir begitu. Tidak usah ada lockdown. Tidak usah ada social distancing. Wabah Covid-19 ini biasa saja. Menurut Trump, Covid-19 ini lebih ringan dari flu --dari segi jumlah korban. Bahkan korban kecelakaan lalu-lintas lebih banyak daripada yang mati karena Covid-19.
Untuk apa takut Covid-19. Sampai pun harus mengorbankan ekonomi.
Jangan-jangan Trump memang lagi ingin ada seleksi alam untuk penduduknya. Biarlah yang badannya tidak kuat mati oleh virus. Toh badan yang tidak kuat bukanlah tergolong orang yang punya daya saing tinggi.
Mungkin Trump punya pikiran kalau yang lemah-lemah itu sudah banyak yang hilang daya saing Amerika sangat tinggi lagi. Ekonominya tidak diganggu oleh yang lemah-lemah itu. Yang hanya menggerogoti anggaran negara.
Adakah Trump juga lagi melakukan gerakan pemurnian kembali jati diri Amerika?
Golongan miskin di Amerika tentu termasuk yang lemah. Apalagi mereka tidak punya jaminan asuransi. Biarlah mereka itu mati sendiri. Toh selama ini mereka hanya ngrepoti.
Orang-orang kaya umumnya punya jaminan asuransi. Kalau pun tidak mereka mampu membayar dokter. Virus kali ini tidak akan mematikan mereka yang sejak awal sudah dirawat dengan baik.
Trump sendiri termasuk golongan mampu itu. Apalagi ia sudah test --dan hasilnya negatif Covid-19.
Maka biarlah wabah itu mewabah. Akan terjadi sendiri seleksi alam sesuai dengan hukum pasar bebas. Mayoritas --yang unggul itu-- akan sembuh. Lalu memiliki kekebalan bersama --herd immunity.
Dari situlah muncul teori herd immunity itu. Biarkan semua orang kena virus. Agar muncul kekebalan bersama --sambil membiarkan yang lemah mati.
Maka kini ada tiga teori untuk menghadapi Covid-19 ini: lockdown, social distancing, dan herd immunity.
Tinggal pilih yang mana.
Ternyata ada pemikiran filsafat yang serius di balik sikap Trump yang kelihatan kejam itu.
Mungkin Hitler, Pol Pot, Machiavelli, Ken Arok juga orang-orang yang punya filsafat tinggi sebelum melakukan kekejaman mereka.
Itu juga bisa dilihat dari konsistensi Trump dalam mengusulkan stimulus ekonomi. Yang nilainya tremendous. Untuk mengatasi kemacetan ekonomi akibat Covid-19.
Nilai stimulus itu luar biasa besar: USD 2 triliun. Setara dengan Rp 34.000.000.000.000.000. Atau mirip dengan APBN Indonesia selama 15 tahun.
Itu baru stimulus.
Tapi usulan itu terganjal di persetujuan Senat. Semua anggota Senat yang dari Demokrat menolak. Semua anggota Senat yang dari Republik setuju.
Sebenarnya itu sudah cukup untuk memenangkan usulan Trump. Republik adalah mayoritas di Senat.
Tapi lima orang anggota Senat dari Republik tidak bisa ikut pemungutan suara: yang dua orang karena terkena Covid-19. Yang tiga orang lagi lagi isolasi diri secara sukarela.
Seperti apa usulan Trump?
Stimulus itu harus diberikan kepada perusahaan-perusahaan. Misalnya perusahaan penerbangan. Atau perhotelan. Agar mereka tetap beroperasi. Sehingga tidak ada PHK.
Itulah usulan yang sangat kapitalis --dan begitu konsisten dengan ideologi pasar bebas.
Demokrat memilih stimulus itu harus langsung diterima orang miskin.
Perbedaan pandangan itu akhirnya bisa diselesaikan. Kompromi.
Sebenarnya Amerika juga punya pengalaman menarik dua tahun lalu. Ketika wabah flu menggila.
Kota St Louis melakukan isolasi ketat atas penderita flu. Philadelphia tidak.
Yang mati di Philadelphia dua kali lipat lebih banyak.
Tapi yang seperti St Louis itu pasti tidak sesuai dengan filsafat pasar bebas dan ideologi kebebasan individu --yang juga menjadi pondasi penting kejayaan Amerika.
Mungkin orang Kolaka (Sulawesi Tenggara) itu juga penganut filsafat yang mirip Trump --dalam bentuk agama yang berbeda.
Anda tentu sudah melihat sendiri videonya yang beredar luas di medsos: istrinya meninggal di RS Kolaka. Dipastikan akibat Covid-19.
Mayatnya sudah mau dikuburkan pihak RS --sesuai protap untuk menderita penyakit menular.
Tapi sang suami datang ke RS. Ngotot mengambil mayat yang sudah dibungkus plastik. Sampai di rumah plastik mayat itu ia buka. Mayat sang istri ia mandikan. Ia kafani. Ia kubur.
Itulah bentuk cinta sampai mati.
Itulah bentuk kebebasan yang juga nyata terjadi di Indonesia.
Saya hanya bisa berdoa semoga ada keajaiban.
Termasuk keajaiban di hari raya Paskah yang tinggal seminggu lagi. Kita saksikan apa yang akan terjadi di Amerika --mumpung hari raya Idul Fitri masih dua bulan lagi di Indonesia.(Dahlan Iskan)