Pasca Pilkada Surabaya, KIPP Dilaporkan ke Bawaslu Surabaya
Pilkada Surabaya telah usai, namun masih ada persoalan yang berkaitan dengan hajatan tersebut. Terhitung satu bulan setelah coblosan, seorang warga yang juga praktisi hukum Moestar Arifin melaporkan Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jawa Timur Novly B. Thyssen ke Bawaslu Surabaya karena diduga tidak netral dalam pengawasan Pilkada Surabaya 2020.
"Saya memang melaporkan saudara Novly dari KIPP Jatim ke Bawaslu Surabaya. Laporan sudah diterima Bawaslu dan saya berharap bisa segera ditindaklanjuti," ujar Moestar, Jumat, 8 Januari 2021.
Laporan yang dilakukan pada Rabu 6 Januari 2021 lalu tersebut diterima pihak Bawaslu Surabaya dengan nomor tanda bukti penyampaian laporan 71/LP/PW/Kota/16.01/I/2021.
Moestar mengatakan, laporan itu dilakukan karena Novly dari KIPP Jatim diduga melanggar UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada.
"Dengan berbagai dinamika yang terjadi selama Pilkada Surabaya, KIPP Jatim yang merupakan lembaga pemantau pemilu di mana Novly sebagai ketua diduga melanggar sejumlah ketentuan dalam UU Pilkada," ujarnya.
Seharusnya, lanjut dia, sebagai lembaga pemantau, KIPP mampu menjaga imparsialitas pemilu, menjaga independensi.
"Saya sarankan agar KIPP Pusat melakukan evaluasi terhadap KIPP Jatim untuk menjaga marwah KIPP dan agar ke depannya tidak digunakan untuk dukung-mendukung dalam pemilu," ujarnya.
Moestar merinci, dugaan pelanggaran terjadi terhadap Pasal 127 huruf F dan Pasal 128 huruf D, dengan sanksi administratif bagi pemantau Pemilu sesuai yang diatur dalam Pasal 129 UU 10/2016. Adapun pengurus lembaga pemantau, dalam hal ini Novly yang dilaporkan, juga bisa dikenakan sanksi sesuai Pasal 187 huruf D.
"Di dalam UU 10/2016, secara jelas disebutkan bahwa lembaga pemantau harus objektif dan tidak berpihak. Tapi dalam hal ini, KIPP di mana saudara Novly menjadi ketua, tidak objektif dan berpihak dalam Pilkada Surabaya," ujarnya.
Ia menjelaskan, permasalahan ini bermula dari laporan KIPP ke Bawaslu Jatim terkait surat dari Walikota Surabaya Tri Rismaharini kepada warga untuk mencoblos di Pilkada Surabaya yang dituduh Novly merupakan pelanggaran politik uang yang terstruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan pasangan calon Eri dan Armuji. Bawaslu Jatim telah menyatakan dalam putusannya bahwa Eri-Armuji tidak melakukan pelanggaran sebagaimana dituduhkan KIPP.
Moestar mengatakan ada banyak hal yang menunjukkan bahwa KIPP tidak independen. Pertama, dalam persidangan di Bawaslu, KIPP menghadirkan saksi ahli yang tidak independen, yaitu Dhimam Abror Djuraid yang merupakan politisi PAN, salah satu partai pendukung Machfud Arifin-Mujiaman.
"Seharusnya saksi ahli independen, tapi pihak KIPP mengajukan nama Dhimam Abror yang tak lain adalah politisi PAN," ujarnya.
Indikator kedua yang menunjukkan sikap tidak independen KIPP sebagai pemantau pemilu adalah memakai pengacara yang sama dengan pengacara yang digunakan Machfud-Mujiaman untuk menggugat ke MK.
"Ini kok bisa sama pengacaranya antara perkara KIPP dan gugatan MK oleh Machfud-Mujiaman? Kalau bicara kebetulan, tentu akan sangat naif," ujarnya.
Indikator ketiga, lanjut Moestar, KIPP sangat getol menyerang Eri-Armuji. Di sisi lain, laporan warga ke KIPP terkait dugaan pelanggaran oleh Machfud-Mujiaman tidak pernah direspons. "Ada beberapa warga yang lapor ke KIPP soal dugaan pelanggaran Machfud-Mujiaman, tapi tidak pernah diadvokasi atau dibela," ujarnya.
Novly juga dalam persidangan juga terungkap memberikan keterangan tidak benar soal waktu diketahuinya penyebaran surat Risma agar laporan tersebut tidak melanggar tenggat waktu 7 hari sesuai ketentuan UU.
"Dia menyebut baru tahu tanggal 4 Desember 2020, sementara fakta-fakta persidangan mengungkap banyak bukti dia tahu soal surat Bu Risma sebelum tanggal itu," kata Moestar.
Sementara itu, Ketua KIPP Jatim Novly B. Thyssen saat dikonfirmasi mengatakan hingga saat ini pihaknya belum mengetahui adanya laporan tersebut.
"Saya tidak ngerti. Saya belum dapat laporan soal itu. Saya juga belum dapat panggilan," katanya.