Pasar Lawas Lidah Ndonowati, Nostalgia di Kota Metropolitan
Rindu dengan kehidupan masa lalu, Pasar Lawas Lidah Ndowati adalah jawaban tepat untuk bernostalgia. Alamatnya terletak di Jalan Lidah Wetan XI, Surabaya.
Pemandangan perkotaan Surabaya yang identik dengan polusi, gedung-gedung tinggi, hingga suasana kedekatan antar warga yang cuek terasa hilang ketika berada di pasar ini. Perasaan hati seakan dibawa bernostalgia oleh suasana pasar yang dikonsep dengan kehidupan zaman dahulu.
Banyak orang duduk bercengkrama sembari menikmati makanan dan minuman di bawah pohon-pohon rindang dengan udara sejuk.
Suasananya begitu kental dengan kehidupan lama, stand-stand dengan model gubuk beratapkan ijuk daul kelapa itu berdiri di perkampungan yang masih banyak pohon-pohon rindang.
Para pedagang pun mendukung suasana tersebut dengan setelan kebaya maupun batik yang dipakai untuk berjualan. Jualannya pun serba jadul. Ada gethuk, semanggi, gulali, cenil, tahu gejrot dan banyak lagi yang nyaris sulit ditemukan di perkotaan.
Tak hanya makanan, ada pula permainan tradisional hingga kerajinan tangan tradisional yang dijual.
Cara pembelian pun tidak sembarangan, pengunjung harus menukarkan uang Rp2.000 untuk satu keping kayu yang digunakan untuk transaksi dengan para penjual. Selain itu, setiap makanan dihidangkan di atas daun pisang untuk mendukung gerakan jaga lingkungan. Sehingga, tidak ada satupun yang menggunakan plastik.
Setelah membeli, kudapan tradisional tersebut dapat disantap di area yang sudah disediakan berupa meja dan kursi kayu di bawah pohon rindang.
Meski banyak kudapan jadul, jangan salah persepsi karena rasanya enak-enak. Apalagi, makan di bawah pohon rindang dengan kesejukan alamnya ditambah alunan musik keroncong tembang kenangan.
Hanya saja, untuk menikmati suasana ini masyarakat harus tahu karena hanya buka setiap Sabtu dan Minggu saja. Dengan jadwal hari Sabtu pukul 15.00 WIB - 22.00 WIB dan hari Minggu setiap pukul 06.00 WIB - 12.00 WIB.
Penggagas Pasar Lidah Ndonowati, Budi Kiswono mengaku, pasar ini tak lain untuk menjaga sekaligus memperkenalkan sejarah kehidupan lama bagi masyarakat.
"Konsep pasar lawas karena orang-orang tua kurang nostalgia sehingga kita buatkan biar bisa bernostalgia. Kemudian, sekarang pasar tematik banyak dicari orang, dan kesannya ayo nostalgia khususnya orang tua sudah kurang jalan-jalan," kata Budi.
Tak hanya orang tua saja, nyatanya pasar ini mengundang ketertarikan bagi anak-anak muda. Tak sedikit para generasi millenial yang datang menikmati senja di Pasar Lidah Ndonowati.
Salah satunya, Ayu, warga Wiyung yang tertarik membawa anaknya untuk ke pasar tersebut. "Ini baru pertama kali ke sini, tertarik karena ingin tahu jualan apa aja. Lumayan menarik, suasananya, terus jualannya juga, cara pembayarannya tukar dengan uang kuno. Jadi berasa seperti zaman dulu," ungkap Ayu.
Dari Rakyat Untuk Rakyat
Peribahasa mencari kesempatan dalam kesempitan tak selalu berkonotasi negatif. Justru di tengah kesempitan soal ekonomi yang kurang baik membuat Budi tergerak mencari inovasi.
Kondisi ekonomi warga yang kebanyakan rendah membuatnya prihatin. "Kami lihat warga sekitar sini ekonominya agak kurang. Ada yang pegawai tetap, banyak yang menganggur, banyak anak muda kurang produktif sehingga kami gagas sebuah pasar," aku Budi.
Dari itu, ia memiliki semangat untuk maju bersama dengan mengajak enam rekannya patungan untuk membuat pasar. Muncul kemudian gagasan mendirikan pasar berkonsep zaman dulu. Konsep ini terinspirasi dari kampung lawas sekitar 6 tahun lalu.
Dari itu, kemudian pria asli Lidah Wetan itu menawarkan tempat berupa gubuk berukuran 1,5 meter x 2 meter kepada warga yang mau berjualan. Dari awalnya hanya 10 orang yang berminat, lambat laun jumlahnya bertambah menjadi 21 sehingga ia membuka pasar tersebut.
Tak tanggung-tanggung pasar ini dikonsep dengan sangat serius. Semuanya harus serba jadul mulai dari standnya, cara transaksinya, seragamnya, hingga makanannya.
Syarat tersebut awalnya cukup memberatkan bagi sejumlah warga yang tak memiliki keahlian membuat makanan atau barang zaman dulu. Namun, dengan semangat kebersamaan dan guyub rukun mereka yang memiliki keahlian memberikan ilmunya.
"Jadi belajar bareng, yang belum punya kemampuan di-support oleh yang pernah jualan. Jualan pun konsep tradisional jajanan kami setting. Tidak boleh sama, jajan seperti ini, harga tidak boleh mahal dan porsi tidak boleh terlalu banyak biar bisa merasakan. Kami juga ada tim quality control jadi siapa tidak bisa masak atau masakan kurang enak bisa diajarin," kata Budi.
Bahkan, lanjut Budi, setiap hari Senin dan Jumat tim dan para pedagang selalu berkumpul untuk melakukan evaluasi untuk mempersiapkan stok dan kerja bakti bersih-bersih pasar.
Semangat bondo nekat tersebut, cukup memuaskan bagi Budi, sebab sudah banyak masyarakat yang mau datang ke pasar tersebut dan meningkatkan perekonomian warga yang terlibat.
Bahkan, ia mengaku, bahwa dalam sehari omzet penjualan seluruhnya mencapai Rp20 juta. "Dampaknya, ada beberapa pedagang salah satunya Mak Ina sebelumnya jualan keliling dari kampung sini sampai kampung sebelah melewati dua kampung. Tapi dengan pasar ini, sekarang hanya jualan dua kali dia tidak perlu capek jalan lagi," ujarnya dengan senyuman.
Dari hasil tersebut, tim beranggotakan tujuh orang itu kemudian memotong 5 persen hasil penjualan dan menerima 20 persen dari penjaga parkir yang digunakan untuk kepentingan pasar.
Dengan keuntungan yang besar, ia berharap, kehidupan warga makin sejahtera, guyub rukun dan pedagang bisa naik kelas. "Target 2024 pedagang naik kelas, dari awal di jalan sekarang bisa ada tempat mengembangkan usaha, UMKM kami harap ada label bersertifikat halal," pungkasnya.