Pasar Cemangking: Membangkitkan Seni Lukis dari Keterpurukan
Belum pernah terjadi di Jawa Timur, sebuah even seni rupa dipromosikan sedemikian heboh, seperti acara Pasar Cemangking yang berlangsung cuma sehari, Sabtu 4 Juni 2022 lalu. Ini sebuah even baru seni rupa, setidaknya di Jawa Timur. Kalau di Yogyakarta sudah beberapa kali diselenggarakan. Yogyakarta memang kota budaya, sedang Jawa Timur daerah Industri. Perhatian warganya terhadap kesenian tentu tidak sama.
Pasar Cemangking murni adalah marketing untuk lukisan, yang perlu diapresiasi oleh siapapun, terutama pemerintah. Sebagaimana yang terjadi di sektor lain, dunia seni lukis juga mengalami keterpurukan yang mendalam akibat pandemi COVID-19. Banyak galeri sudah tutup, tidak saja di Bali tapi juga di seluruh dunia. Di China saja selama 2020- 2021, terdapat sekitar 180 galeri tutup. Pasar Cemangking adalah salah satu upaya yang dilakukan para seniman sendiri untuk bangkit dari keterpurukan.
Beberapa pelukis asal Jatim yang selama ini total hidup sebagai pelukis di Ubud, Bali, dengan menyewa sebuah ruangan untuk galeri, terpaksa jual kendaraan untuk bayar sewa galeri. Pilihan lainnya adalah tutup, celakanya tidak sedikit dari mereka yang memilih tutup. Selama pandemi, tidak ada satu pun pesawat internasional yang mendarat di Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Itu artinya tidak ada satupun turis asing yang datang. Di Bali, lukisan adalah cangkingan bagi mereka.
Cemangking, bahasa Jawa, asal katanya cangking atau jinjing. Jadi cemangking maknanya kira-kira layak dijinjing, atau menarik untuk dijinjing, atau bisa juga bermakna silakan dijinjing, atau hand carry. Silakan lihat lukisan-lukisan yang dipamerkan di halaman studio ‘No Body’ milik pelukis Joni Ramlan, kalau minat silakan dicangking, dibawa pulang. Ukuran seluruh lukisan tidak ada yang besar, paling besar 60 sentimeter, harganya paling mahal Rp 5 juta.
Hebatnya, diantara sekitar 130 lukisan yang dipamerkan itu, terdapat karya beberapa maestro seni lukis Indonesia seperti Jokopekik, Butet Kertarejasa, Putu Sutawijaya, Ugo Untoro, Iwan Yusuf, dan karya Joni Ramlan sendiri. Karya-karya para maestro inilah yang harganya Rp 5 juta. Sedang karya sekitar 60 pelukis lainnya, baik dari Yogyakarta maupun Jawa Timur, harganya dipatok paling mahal Rp 3 juta. Dan laris manis.
Menurut catatan panitia, dalam sehari itu telah terjual 80 lukisan, baik karya para maestro yang jelas sold out, serta karya pelukis-pelukis lainnya. Yoes Wibowo, pelukis dari Sidoarjo mengirimkan dua lukisan dengan harga Rp 3 juta, sold out. “Satu karya lagi tidak ikut dipamerkan di sini, tetapi terjual secara online. “Jadi saya ikut dua lukisan, tapi lakunya tiga,” kata Yoes sambil tertawa.
Gusar Suryanto, pelukis dari Rembang, Jawa Tengah, mengirimkan dua lukisan dan laku terjual. Dia memuji konsep Pasar Cemangking ini. Demikian juga Fathur Rojib, pelukis dari Sidoarjo, juga terkesan dengan kegiatan ini. “Ini even yang perlu didukung. Bahkan even seperti ini perlu lebih sering diadakan” kata Fathur Rojib. “Saya kirim dua lukisan, kayaknya laku melalui online,” tambahnya. Wahyu Nugroho dari Pasuruan senang ikut even ini. Ia kirim dua karya, terjual semua.
Joni Ramlan
Memang, karya-karya para pelukis yang dikatagorikan non maestro cukup banyak terjual, salah satunya karena sistem yang diberlakukan panitia. Yaitu karya para maestro tidak dijual secara bebas, melainkan melalui undian. Seseorang yang bermaksud mengoleksi karya Jokopekik misalnya, tidak bisa langsung mencangkingnya, tetapi harus mengikuti undian. Dia bisa mendapatkan tiket untuk ikut undian, apabila membeli karya non maestro. Setiap pembelian karya non maestro dengan kelipatan Rp 750 ribu akan mendapat satu tiket undian.
Orang lain yang ingin membeli karya Putu Sutawijaya misalnya, juga harus membeli karya non maestro agar dia bisa mendapat tiket untuk ikut undian karya Putu Sutawijaya. Demikian juga mereka yang mau mengoleksi karya pelukis maestro lainnya, harus ikut undian, artinya harus membeli lukisan karya non maestro.
Melalui medsos, panitia menjelaskan lebih detil datanya. ”Untuk lukisan Pak Pekik ini terkumpul tidak kurang 143 tiket untuk memperebutkannya. Bila dihitung secara cepat maka 143 x Rp 750.000,- = Rp 107.250.000,- ditambah harga dasar lukisan Pak Pekik itu sendiri sebesar Rp 5 juta maka total harga lukisan ini Rp 112.250.000,-. Jadi taruhlah misalnya bila harga lukisan lainnya sekitar Rp 2-4Jt, untuk mendapat 143 tiket itu kurang lebih ada 53 lukisan yang terbeli. Jadi lukisan Pak Pekik ini menghidupi 53 lukisan lainnya untuk mendapatkannya seharga Rp 5 jt,” tulis Alit Ambara di akunnya, selaku panitia.
Terbanyak yang mengumpulkan tiket undian adalah karya Jokopekik, 143 tiket. Disusul karya Putu Sutawijaya mendapatkan 54 tiket, Ugo Untoro 27 tiket dan Butet Kertaredjasa juga 27 tiket. Tiket-tiket ini, faktanya ikut mengatrol penjualan karya para pelukis lainnya.
Joni Ramlan, tuan rumah pemilik studio No Body, tidak dapat menyembunyikan kebahagian sekaligus semangatnya. Dia tak pernah duduk, melainkan terus berjalan dari satu sudut ke sudut halaman studionya melayani para pengunjung, baik yang datang cuma untuk melihat pameran maupun para kolektor yang memang berburu lukisan.
“Ini kenalkan, Pak Doen, teman saya yang langsung datang dari Singapura. Beliau tadi pagi mendarat di Bandara Abdurrahman Saleh, Malang kemudian langsung ke sini,” kata Joni Ramlan sambil memperkenalkan tamunya, yang sedang melihat-lihat lukisan, didampingi dua orang temannya. Menurut Joni Ramlan, Pak Doen mewakili beberapa kolektor dari berbagai tempat, dan telah memborong 43 karya. “Saya bangga dan berterima kasih beliau berkenan hadir,” kata Joni, disambut tawa tamunya.
Anjangsana
Pasar Cemangking amat menarik bukan saja dari nilai transaski yang terjadi, tapi juga dari sisi apresiasi, yang ditunjang oleh halaman rimbun yang luasnya 2.700 M2, milik Joni Ramlan, 51 tahun. Lokasinya berada di sebuah gang, di Dusun Ketok Gang IV no 7, atau tepatnya di Desa Tunggal Pager, Kecamatan Pungging, Jawa Timur. Gang untuk masuk ke dalam berada di tepi jalan raya Mojosari – Ngoro (Gempol), sekitar 1,5 Km dari Pasar Mojosari. Pintu masuk hanya sekitar 75 meter dari ujung gang, sebelah kanan.
Pada pojok sebelah kanan halaman, ada dua studio sekaligus galeri pribadi yang memang sudah lama dibangun. Sementara di halamannya banyak sekali pohon besar yang rindang, di bawahnya disediakan meja dan kursi dan bangku-bangku kayu jati. Puluhan pelukis hadir, duduk berkelompok di beberapa titik di bawah pohon rindang. Jarang terjadi, banyak pelukis dari berbagai daerah di Jawa Timur bisa bertemu seperti ini. Pasar Cemangking adalah reuni dan silaturahmi antar seniman.
Selain karya para maestro, Pasar Cemangking juga memamerkan karya Beni Dewo, Lini Natalini, Gusar Suryanto, Fathur Rojib, Sigit Crueng, Andi Prayitno, Woro Indah, Ledek Sukadi, Sumadi, Boeyan Djogja, Bayu Widodo, G. Prima Puspita Sari, Joko Sulistiono, Sri Lestari Pudjiastuti, Wahyu Nugroho, Gunawan Bonaventura, Yuswantara Adi, Bambang Pramudiyanto, Bambang Heras, Nyoman Ateng Adiana, Magas Garden, Yanwar Nugroho, Yana Setyawan, Prawiraning Pinastika, Uukwuzhere, Maslihar, Rismantu, Ampun Sutrisno, Kuartkuat, Alit Ambara, Erwin Duta Rustaman, Gathuk Sardjono, Yoes Wibowo, Max Gayoon, Nanag Warhol, Pingki Ayako, Nopral, Garis Edelweiz, Noeri Diaz, Priyok Dinasti, T. Kamajaya, Edi Markas, Masih banyak karya pelukis lain yang namanya tidak tercatat dalam E-Katalog.
Lukisan-lukisan di display di bingkau baja dengan anyaman kawat di tengahnya sehingga tembus pandang. Sama sekali tidak menggunakan partisi dari dari gypsum atau triplek. Joni menyebutnya sebagai konsep industrial style. Karena itu penataan lukisan bisa lebih rapi. Ada beberapa titik untuk mendisplai lukisan. Para pengunjung bebas untuk melihat lukisan-lukisan, sambil berjalan menikmati teduhnya halaman. Tentu saja jumlah pengunjung secara off-line tidak sebanyak pengunjung E-Katalog. Bahkan tanggal 1 Juni pihak panitia melalui medsos mengumumkan, semua akun @PasarCemangking telah down akibat overload.
Tiga hari sebelum pelaksanaan Pasar Cemangking, panitia memang telah membuka penawaran secara online dengan menyebarkan E-Katalog, menampilkan karya-karya yang akan dipamerkan. Dengan demikian para kolektor maupun galeri serta para ‘pemburu’ karya-karya maestro bisa saja tidak perlu jauh-jauh datang ke Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto.
Pasar Cemangking, menurut Joni Ramlan lebih sebagai sarana membangun persaudaraan dan anjangsana antara Yogyakarta dan Jawa Timur. “Ini adalah pertama kalinya konsep Pasar Cemangking ke luar dari Yogyakarta. Di Jatim memang pertama, tapi di Jogja sudah keempat kalinya. Pertama di rumah Pak Jokopekik dengan nama ‘Suka Pari Suka’, kemudian dua kali di rumah Romo Sindhunata bernama ‘Pasarela,’ lantas Pasar Cemangking di Jogja sekali lagi dan terakhir Pasar Cemangking di sini,” jelasnya.
Karena memang diadobsi dari Yogyakarta, maka tim marketing dan administrasi dijalankan oleh tim dari Jogyakarta. Salah satu dari mereka, Nihil Pakulir, menyatakan cukup puas dari pelaksanaan Pasar Cemangking di Jatim ini. “Kami senang karena berjalan sukses, dan hasilnya juga di luar dugaan, kata Nihil Pakulir, yang tak lain adalah putra pelukis Jokopekik,
Menurut pengamat seni rupa Adi Wicaksono yang hadir di Pasar Cemangking, even seperti ini akan menjadi bentuk kreatifitas baru dan berkesenian. Mengenai karya-karya para pelukis, Adi Wicaksono mengatakan kecil bukan berarti tidak bernilai. “Nilai tidak hanya ditentukan oleh besar kecilnya ukuran, melainkan oleh makna yang terkandung dalam lukisan itu sendiri,” katanya kepada Ngopibareng.Id.
Pasar Cemangking adalah agenda baru untuk perkembangan seni lukis di Jawa Timur. Kegiatan ini tidak bersaing dengan even-even seni lukis yang sudah ada. Justru secara substansial saling berkait, untuk sama-sama menyebar-luaskan keindahan pada masyarakat luas, agar kehidupan mereka tidak dimonopoli oleh para poliitikus. (ma)