Pasangan Muda, Setelah Menteri Perdagangan Ungkap Harta Karun
Menteri Perdagangan menyebutnya sebagai harta karun. Nilainya Rp 500 triliun. Sang menteri, Muhammad Lutfi, berkomitmen menggalinya.
Tentu akan berhasil. Pada saatnya nanti. Bila memang harus berhasil.
Harta karun itu bernama sarang burung walet. Yang kemampuan Indonesia menghasilkannya luar biasa: 1.500 ton/tahun. Yang sudah berhasil diekspor langsung ke Tiongkok baru sekitar 300 ton/tahun.
Sisanya harus muter-muter. Kalau perlu lewat jalan-jalan tikus. Yang penting, setidaknya, bisa sampai ke Hong Kong. Untuk bisa masuk Tiongkok –satu-satunya negara yang gila minum sop sarang burung walet.
Sampai sekarang baru 23 pengusaha yang boleh ekspor langsung ke Tiongkok. Sejak 2013. Belum ada kemajuan. Itu pun sudah lumayan. Sebelumnya hanya 6 pengusaha yang bisa melakukannya.
Itu juga sudah mendingan. Sebelumnya lagi justru nol. Selama sewindu. Sejak 1998 –atau sekitar itu.
Awalnya salah kita sendiri.
Cerita ini terkenal di kalangan pengusaha sarang burung walet Indonesia: seseorang, di Tiongkok sana, meninggal dunia. Almarhum sebenarnya datang ke sinshe untuk berobat. Oleh sinshe diberi minuman sarang burung walet.
Setelah diselidiki ketahuan: di jenazah korban mengandung terlalu banyak formalin. Sumbernya dari minuman berkhasiat asal Indonesia itu.
Para pengusaha walet tahu: yang mencampur formalin itu pedagang dari (sedih) Surabaya.
Sejak itu sarang burung dari Indonesia masuk daftar hitam. Ekspor pun macet. Harga sarang burung nyungsep. Dari Rp 22 juta/Kg menjadi tinggal Rp 2 juta.
Kebangkrutan masal melanda dunia bisnis sarang burung. Si pengusaha Surabaya tiba-tiba meninggal dunia. Namanya diucapkan oleh semua pemilik sarang burung walet Indonesia, yang Sabtu lalu berkumpul di rumah saya.
Mengapa perbuatan tercela itu sampai dilakukan?
Ternyata punya tujuan ganda. Pertama bisa membuat kulit sarang burung menjadi glowing. Kedua, yang lebih jahat itu tadi: agar bobotnya naik.
“Dengan menambahkan formalin beratnya bisa naik 20 persen,” ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Peternak Sarang Burung Walet Indonesia Jatim Dr Wahyudin Husein, SH, MH. “Kalau harga satu kilogram Rp 22 juta, tambahan itu sudah bernilai Rp 4,4 juta,” tambahnya.
Wahyudin adalah generasi keempat pengusaha walet di keluarganya. Ia mewarisi rumah sarang burung dari orang tua, kakek, buyut, dan canggahnya. Di Sedayu, Gresik. Di dekat pantai utara laut Jawa.
Ia bukan termasuk yang 23 pengusaha eksporter ke Tiongkok. Ia tidak pernah berhenti berjuang. Sampai ke Menteri Perdagangan. Belum berhasil.
“Di Jawa Timur saja masih 700 pengusaha yang belum bisa ekspor,” katanya.
Wahyudin juga punya industri pengolahan sarang burung walet. Tenaga kerjanya 350 orang –umumnya wanita di sekitar desanya. Tugas mereka adalah membersihkan sarang dari kotoran: bekas darah dan tahi burung. Yakni darah ikutan saat bertelur.
Dr Sunu Kuntjoro, bahkan generasi ketujuh. Doktornya pun tentang sarang burung walet. Dari fakultas teknik kimia Institut Teknologi Bandung (ITB). Yang penelitiannya sampai jauh-jauh ke Madison University, Wisconsin. Di sana Sunu menghabiskan waktu 2 tahun. Bukan karena di sana ada sarang burung walet. Itu semata karena Sunu ingin memanfaatkan lab kimia di universitas itu.
Dr Sunu juga tidak termasuk yang 23 pengusaha bisa ekspor ke Tiongkok.
Ngobrol di rumah saya itu pun seru. Ada juga Bing Hariyanto, pengusaha pengolahan sarang burung. Pertemuan itu pun menghasilkan dua rumusan: pertama, agar pemerintah terus memperjuangkan ekspor harta karun itu.
Kedua, merumuskan peringatan keras: harta karun itu bisa punah dari Indonesia.
Yang pertama itu hanya menteri perdagangan yang bisa di garis depan. Sedang yang kedua tugas pengusaha sarang burung sendiri.
Persoalannya kembali ke sikap rakus dalam berbisnis. Harga sarang burung terbaik adalah sarang burung yang masih bersih. Artinya: belum pernah dipakai kawin oleh pemilik sarangnya. Juga belum pernah dipakai bertelur. Belum ada kotorannya sama sekali.
Padahal sarang burung yang seperti itu mengandung cerita cinta yang dramatik. Sarang itu dibuat lewat upaya yang susah payah, oleh sepasang calon suami-istri walet.
Sepasang burung walet itu punya komitmen cinta yang luar biasa: belum akan kawin sebelum punya rumah. Maka pasangan itu hanya terbang ke sana ke mari untuk bersama-sama mencari makan. Makanan itulah yang membuat pasangan itu bisa memproduksi air liur dalam jumlah banyak.
Menjelang waktu magrib mereka pulang. Yakni ke sebuah rumah yang mereka pilih. Di situlah pasangan itu akan membangun sarang. Tiap malam, secara bergantian, pasangan itu mengucurkan air liur. Air liur mereka menjadi seperti benang. Dikaitkan sedikit demi sedikit. Berhari-hari. Bermalam-malam. Setelah 45 hari barulah sarang itu jadi. Menghabiskan air liur begitu banyak: demi perkawinan mereka.
Burung walet –sosoknya mirip burung sriti– adalah makhluk yang punya komitmen tinggi soal perkawinan. Tidak akan kawin sebelum punya rumah. Tidak seperti tetangga Kliwon.
Begitu sarang itu jadi, mereka pun kawin. Di situ. Tiap malam pulangnya ke situ. Sampai yang betina bertelur.
“Burung walet itu monogami. Tidak ganti-ganti pasangan,” ujar Dr Sunu. Jantannya tidak pernah ke sarang betina lain.
Burung walet juga istimewa: hanya punya dua telur –persis seperti tetangga Alay. Tidak ada walet yang punya lebih dua telur –dalam sekali bertelur. Tidak pernah juga hanya punya satu telur.
Dua telur itu pun sangat istimewa. Yang satu pasti jantan. Dan satunya betina. Dr Sunu sudah melakukan penelitian itu secara mendalam.
Anda bayangkan: ketika rumah mereka itu baru jadi, belum lagi digunakan untuk kawin, sudah dirampok oleh makhluk lain yang bernama pengusaha sarang burung walet. Betapa kejamnya.
Kali ini saya mau kalau harus jadi buzzer untuk mengecam kerakusan seperti itu. Syukur-syukur ada yang membayar.
Harga sarang burung perawan seperti itu memang bisa mencapai Rp 15 juta/Kg. Sekarang ini. Sedangkan yang sudah dipakai bertelur tinggal Rp 10 juta. Dan yang sudah beberapa kali dipakai kawin-bertelur bisa tinggal Rp 7 juta.
Maka rumah-rumah pasangan yang siap kawin itu dipanen. Alangkah menderitanya pasangan muda burung walet itu. Coba, di mana mereka akan kawin. Bagaimana pula dengan janji mereka: untuk baru akan kawin setelah punya rumah. Lalu, begitu siap rumah itu hilang.
Saya tidak mampu meneruskan tulisan ini. Saya sedih sekali membayangkannya. Saya, hari ini, juga tidak mau memilih komentar terbaik… Mungkin besok baru bisa move on. (*)
*) Tulisan ini telah dimuat di Harian Disway.
Advertisement