Paradigma Perempuan Islam Perlu Kembali Diluruskan
Kalis Mardiasih, Penulis Buku Muslimah yang Diperdebatkan mengatakan, banyaknya meme dakwah Muslimah yang akhir-akhir ini mediskreditkan perempuan. Misalnya, meme dakwah yang mengatakan bahwa kecantikan perempuan di media sosial menjadi dosa jariah. Jadi saat dia tidur, shAlat dan melakukan aktivitas kebaikannya tetap dicatat akan dosa.
"Meme seperti itu perlu kemudian diluruskan agar perempuan tidak menjadi ketakutan dalam beragama," kata Kalis, dalam keterangan Sabtu 29 Februari 2020.
Selain itu, Kalis juga menyinggung banyaknya meme dakwah soal penampilan dan wajah seolah hanya ditujukan kepada perempuan (muslimah) saja. Dan jarang ditujukan ke laki-laki bahkan tidak ada.
"Narasi ini kelihatannya indah, tetapi dalam banyak kasus pemaknaanya bisa sangat dekontruktif," kata Kalis.
Untuk itu, dirinya mendorong perempuan muda Muhammadiyah untuk bisa ikut berperan dan menjelaskan kepada muslimah pada umumnya agar tidak terjebak pada dekontrusi yang kurang bener. Misalnya kata Kalis bagaimana berjilbab ala 'Aisyiyah itu penting untuk kemudian dijelaskan ke publik sebagai paradigma yang baik.
Sementara itu, aktivis IMMawati IMM D.I. Yogyakarta mendorong para perempuan muda Muhammadiyah tidak hanya menjadikan jilbab sebagai mode dan identitas semata tetapi mampu menjadikan dominasi gerakan kemanusiaan yang menjawab persoalan.
Hal itu disampaikan Immawati Tati, Ketua Bidang Immawati IMM DIY dalam Diskusi Publik Hari Perempuan Internasional, di Aula Kantor PP Muhammadiyah, belum lama ini.
Lewat tema "Jilbab sebagai Identitas dan Gerakan Perempuan Muslim" itu, Tati menyinggung berbicara perempuan tidak pernah habis karena sampai hari ini perempuan terus diperbincangkan dan diperdebatkan. Tak terkecuali dalam urusan berjilbabnya. Bahkan ada yang esktream mengatakan bahwa perempuan sebagai sumber masalah.
Lalu bagaimana bagaimana perempuan muda Muhammadiyah dalam memposisikan dirinya. Tati menguraikan, perempuan muda Muhammadiyah harus menggunakan prinsip moderasi yaitu memposisikan diri sebagai umatan wasathan (umat tengahan).
Adapun prinsip moderasi diuraikan Tati, yaitu: pertama, perempuan muda Muhammadiyah harus memiliki paradigma profetik artinya mampu menterjemahkan suatu permasalahan dengan gerakan sehingga menjawab permasalahan universal yang menyangkut kemanusiaan.
"Jadi perempuan muda Muhammadiyah terkhusus Immawati tidak hanya berhenti pada persoalan pergerakan, identitas, dan jatidiri. Tetapi menjawab persoalan dengan gerakan. Itulah paradigma profetik," katanya.
Kedua, perempuan muda Muhammadiyah harus memahami konsep perempuan berkemajuan sebagaimana yang menjadi landasan dan konsep gerakan 'Aisyiyah dan kemudian juga diikuti oleh Nasyiatul 'Aisyiyah lewat gerakan perempuan muda berkemajuan.
Ketiga, perempuan muda Muhammadiyah harus memahami konteks keislaman ala Muhammadiyah yaitu menekankan akhlakul karimah. "Dalam konteks menutup aurat misalnya tidak hanya berbicara jilbab dan hijab. Tetapi bagaimana menjaga pandangan dan kemaluan, "kata Tati.
Keempat, perempuan muda Muhammadiyah harus memiliki paradigma pembaharuan. Kata Tati, banyak kasus perempuan muda hari ini karena paradigma yang bermasalah.
"Paradigma pembaharuan ini sejalan dengan konsep Perempuan Berkemajuan Muhammadiyah. Pembaharuan disini adalah pembaharuan dalam berfikir, merumuskan dan tindakan," urai Tati.