Paradigma Iqra, Begini Konstruksi Islam dan Keindonesiaan
Ada kekerdilan dalam masyarakat memahami Indonesia saat ini. Yakni, cara membaca dan mengkonstruksi masyarakat terhadap Islam, Indonesia, dan damai. Sekarang orang berfirqah-firqah (barisan-barisan), dengan menggunakan tafsirnya sendiri-sendiri.
“Dan tak jarang tafsirnya itu digunakan sebagai alat pemukul bagi pihak lain, dan juga sebagai alat menyempitkan ruang pemikiran pihak lain, dan kemudian akhirnya masing-masing berebut tafsir,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, dalam keterangan diterima ngopibareng.id.
Kekerdilan ini terjadi, menurut Haedar, disebabkan salahnya cara membaca, mengkonstruksi dan membawa pesan-pesan keislaman.
“Kita jadi kehilangan narasi iqra yang dalam arti sesungguhnya dalam mengkonstruksi Islam,” kata Haedar.
“Jangankan dengan yang berbeda agama, dengan yang sesama muslim saja kita mudah saling menyebut takfiri, untuk menjadikan orang lain musuh,” kata Haedar.
Haedar Nashir sebelumnya, menyampaikan pesan dalam acara Dialog Kebangsaan "Islam, Kebangsaan, dan Pedamaian bertempat di Auditorium Abdulkahar Mudzakkir Universitas Islam Indonesia (UII), Kamis 28 Februari 2019.
Dalam kesempatan itu Haedar mengajak untuk mengkonstruksi Islam dalam paradigma iqro, yakni yang melampaui dan mendalam, dan tidak membuat umat saling berebut tafsir, yang kemudian membuat Islam semakin kerdil.
“Jangankan dengan yang berbeda agama, dengan yang sesama muslim saja kita mudah saling menyebut takfiri, untuk menjadikan orang lain musuh,” ujar Haedar.
Selain keislaman, dalam kehidupan kebangsaan juga mengalami kekerdilan, dan kehilangan narasi iqra.
“Yang muncul adalah konstruksi survei, dan konstruksi survei telah mencekoki pemikiran masyarakat, sehinggasemuanya dikonstruksi narasi verbal jangka pendek,” tutur Haedar. (adi)
Advertisement