Para Pemimpin Air Mata
Ada memang dalam sejarah, jejeran para pemimpin yang pekerjaannya hanya meneteskan air mata rakyatnya.
Menyengsarakan dan melahirkan penderitaan lahir bathin. Setiap perkataan yang keluar dari dalam mulutnya adalah solar api yang membakar hati dan mencemaskan pikiran.
Tindakannya membawa kegaduhan, serta menyeret manusia pada keadaan yang tak pernah pasti. Ia biasanya lebih gandrung pada bangunan benda-benda yang tak begitu penting, namun kering dari sentuhan jiwa yang kukuh memperkuat mata batin.
Cara kerjanya seperti membangun istana di atas tumpukan pasir. Ia tak peduli pada kokohnya bangunan, namun lebih suka gigantisme meski rapuh. Pada kebanyakan manusia tak berkesadaran, pemimpin seperti itu adalah idola mereka. Namun pada masyarakat yang berkesadaran penuh, mereka tak ubahnya sebagai air bah yang meluluhlantakkan kehidupan. Jenis pemimpin seperti itu selalu tidak cocok bagi orang cerdas.
Sebab, sekelompok orang cerdas adalah mereka yang bisa mengerti dan tahu apa yang akan terjadi, lalu mereka gelisah mencari solusi. Sedang sekelompok manusia bodoh, baru merasa bingung setelah peristiwa, ---keadaan buruk terjadi. Di situlah beda orang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan. Juga disitulah perbedaan antara pemimpin berpengetahuan dan pemimpin yang tidak berpengetahuan.
Dalam lintasan sejarah manusia, alam kerap melahirkan pemimpin aneka jenis manusia. Ada yang merusak dunia, ada yang bersahabat dengan bumi. Ada pemimpin yang pandai bersyukur, namun juga ada pemimpin yang kufur. Pada pemimpin yang pandai bersyukur, kehidupan ibarat mata air yang menumbuhkan dan menyejukkan, sedangkan pemimpin yang kufur hanya melahirkan air mata kesedihan dan penderitaan.
Para pemimpin air mata itu lahir dari senyawa kebodohan yang dibungkus oleh data-data yang palsu. Sedangkan pemimpin mata air selalu lahir dari penderitaan yang majemuk; menembus batu batu tantangan yang mampu menyembulkan optimisme dan harapan. Ia selalu berdiri tegak lurus diatas kesadaran akidah dirinya dengan Tuhannya. Sekujur aliran nafasnya adalah hikmah, petuah dan tuntunan hidup yang indah nan menguatkan.
Berdekat-dekat dengannya adalah anugerah dan keistimewaan yang seolah mimpi yang indah. Berjauhan dengannya selalu terasa merindukan. Seperti kerinduan kaum mukminin pada Rasulullah.
Mendengarkan perkataannya mampu merangsang imajinasi, memperkuat cita-cita dan mampu menjadi energi untuk mewujudkannya.
Namun bagi pemimpin air mata, mereka hanya melahirkan deretan pesimisme yang terus datang berkelindan. Seperti barisan gelombang pasang air laut yang terus menghantam bibir pantai. Gelombang yang makin hari makin menakutkan, seperti gelombang pasang yang kawin-mawin dengan tsunami yang tak jelas kapan mereda. Tiba-tiba rakyatnya sudah menerima pemandangan yang luluh lantak, dan tak tahu harus berbuat apa dan harus bagaimana. Pemimpin air mata hanya melahirkan kedunguan-kedunguan baru yang tanpa batas.
Pemimpin air mata adalah mereka yang bekerja tanpa ilmu pengetahuan yang normal nan pasti. Pemimpin air mata adalah mereka yang mulutnya mengarah ke kanan, hatinya ke kiri, tindakannya melongok ke atas langit, sedang jalannya membentur-benturkan tubuhnya hingga sempoyongan. Tidak ada kompas kehidupan yang mampu menuntun jalan pada kebenaran. Ia hanya memantik duka, dan melahirkan rasa sengsara.
Pada kehidupan yang demikian itu, tiada jalan selain mendekat kembali pada pemilik langit dan bumi. Mempertegas kembali komitmen tauhid kehidupan kita pada Tuhan yang Maha Pencipta alam raya. Bukan berharap pada manusia yang dungu oleh kepalsuan para dedemit. Pada deretan para perampok kesadaran yang palsu. Sebab itu adalah penderitaan yang sejenis. Penderitaan yang sekaligus membutakan mata batin yang paling dalam. Jika itu terjadi, maka itulah sejatinya wajah kegelapan yang akbar. Dan, usaha yang paling cerdas hanyalah berlindung pada Tuhan; bukan pada yang lain.
Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang)